Insya Alloh bulan Dzulhijjah segera tiba, Dzulhijjah merupakan
salah satu bulan teristimewa bukan saja bagi para jamaah haji dan umrah
di Tanah Suci. Melainkan juga bagi seluruh kaum muslimin dimanapun
berada. Karena sepuluh hari pertama bulan haram (bulan mulia) yang satu
ini dan yang sekaligus merupakan bulan pelaksanaan ibadah rukun Islam
kelima, adalah merupakan sepuluh hari termulia sepanjang tahun. Dimana
kemuliaan, keutamaan dan keistimewaannya bahkan bisa mengungguli
kemuliaan, keutamaan dan keistimewaan hari-hari bulan suci Ramadhan yang
baru saja meninggalkan kita. Ini tentu saja sebuah rahmat dan karunia
spesial dari Alloh yang tak terukur nilainya. Dan hanya orang-orang
merugi yang terjauhkan dari rahmat Alloh sajalah yang menyia-nyiakan dan
melewatkan begitu saja momentum luar biasa seperti ini! Semoga kita
tidak termasuk di dalamnya!
Maka kepada seluruh jamaah haji,
kami ucapkan: Selamat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan
setotal-totalnya demi meraih haji mabrur yang berdasar hadits muttafaq
‘alaih pasti berbalas Surga. Dan kepada semua kaum muslimin non jamaah
haji, juga tak lupa kami ucapkan: Selamat ber-fastabiqul khairat
(berlomba amal kebaikan) khususnya dalam 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah 1434 nanti, yang menurut kalender Indonesia dan juga kalender
Ummul Qura di Mekkah, hari pertamanya insyaallah akan jatuh pada hari
Ahad tanggal 6 Oktober 2013. Dimana jika seseorang mampu mengoptimalkan
upaya amal saleh dengan beragam macamnya di dalamnya, maka sangat
dimungkinkan iapun bisa menggapai kemuliaan derajat di sisi Alloh dan
kelipatan pahala dari-Nya, seperti yang didapat oleh jamaah yang sukses
dengan hajinya, atau bahkan mengunggulinya.
Mungkin ada yang
terheran-heran dan bertanya: Benarkah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah
semulia itu sampai bahkan mungkin bisa mengungguli kemuliaan hari-hari
bulan Ramadhan, atau minimal setara dengannya? Mengapa hal itu
sepertinya tidak begitu dikenal di tengah-tengah mayoritas ummat Islam,
sehingga karenanya sikap merekapun biasa-biasa dan datar-datar saja,
tanpa ada yang tampak istimewa seperti yang umumnya ditunjukkan dalam
menyambut bulan suci Ramadhan?
Nah untuk menjawab pertanyaan
diatas, mari kita cermati bersama sabda Baginda Sayyidina Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya) berikut ini: Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
”Tiada hari, dimana beramal shalih padanya lebih Alloh cintai
selain hari-hari ini”, yakni 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para
shahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah termasuk jihad fi sabilillah
juga tidak bisa (menandingi)?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Termasuk jihad fi sabilillah sekalipun tidak bisa
(menandingi), kecuali seorang lelaki yang pergi berjihad dengan jiwa dan
hartanya sendiri lalu tidak ada sesuatupun darinya yang kembali, yakni
sampai gugur sebagai syuhada’”
(HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud,
Ibnu Majah dan Ahmad).
Mari perhatikan, demikian tingginya
tingkat kemuliaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut,
sampai-sampai jihadpun bisa kalah dalam derajat dan nilai pahala bila
dibandingkan dengan amal shaleh apapun, sekali lagi amal shaleh apapun,
yang dilakukan oleh seorang hamba muslim pada hari-hari tersebut.
Padahal kita semua tahu, betapa tinggi nilai jihad fi sabilillah di
dalam Islam dan derajat mujahid di sisi Alloh Ta’ala. Tapi toh hanya ada
satu kondisi mujahid saja yang derajat dan nilai pahala jihadnya bisa
mengungguli amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah, yang memang
merupakan puncak derajat seorang mujahid di jalan Alloh. Yaitu seorang
mujahid yang memenuhi 3 kriteria:
pertama, ia berangkat sendiri ke medan
jihad;
kedua, seluruh perbekalan jihadnya dari harta miliknya sendiri;
dan
ketiga, ia berjihad sampai gugur sebagai syuhada.
Sehingga jihad
seorang mujahid yang sampai mati syahid tapi perbekalan jihadnya dari
harta orang lain, atau mujahid yang berangkat jihad dengan diri dan
hartanya sendiri namun tidak sampai gugur sebagai syuhada, atau bahkan
yang berjihad dengan diri dan hartanya sendiri, serta mati syahid, akan
tetapi masih ada dari perbekalan jihadnya, misalnya pedangnya atau baju
besinya, atau kudanya dan lain-lain, yang masih bisa dibawa pulang
kembali dari medan laga jihad. Ya semua kondisi mujahid yang pasti
sangat luar biasa keistimewaannya itu, tetap saja tidak bisa menandingi
dan mengungguli keistimewaan, keutamaan dan kemuliaan amal saleh pada 10
hari pertama bulan Dzulhijjah seperti yang tengah kita lewati ini!
ALLAHU AKBAR!
Mungkin karena begitu mulianya 10 hari pertama
bulan Dzulhijjah tersebut, maka Alloh Ta’ala sampai bersumpah dengannya,
dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan demi malam-malam yang sepuluh”
(QS. Al-Fajr 89: 2), yang menurut Imam Ibnu Katsir dan jumhur mufassir
lain rahimahumullah, maksud tafsirnya yang benar adalah 10 malam pertama
bulan Dzulhijjah.
Dan ada satu dalil kuat lagi yang bisa
menjadi faktor penegas luar biasanya keistimewaan 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah ini. Yakni bahwa, para ulama sampai berselisih pendapat
tentang mana yang lebih mulia, utama dan istimewa antara 10 hari pertama
bulan Dzulhijjah dan 10 malam terakhir bulan Ramadhan yang di dalamnya
terdapat malam lailatul qadar. Dimana sebagian ulama berpendapat bahwa,
10 hari dan malam pertama Dzulhijjah yang lebih mulia, dan sebagian yang
lain mentarjih bahwa, 10 malam dan hari terakhir Ramadhanlah yang lebih
istimewa. Dan pendapat yang lebih rajih, kuat dan tepat insya Alloh
adalah yang memadukan antar dalil keduanya. Dimana untuk waktu malamnya,
10 malam akhir Ramadhan adalah yang paling utama sepanjang tahun bila
dibandingkan dengan semua malam yang lain termasuk 10 malam pertama
bulan Dzulhijjah. Sementara itu untuk waktu siangnya, 10 hari pertama
Dzulhijjah adalah yang termulia dibanding seluruh hari yang lainnya
termasuk hari-hari bulan Ramadhan seluruhnya.
Oleh karena itu
semua, seharusnya sikap kita dalam mengistimewakan hari-hari termulia
ini dengan amal-amal yang serba istimewa, utamanya untuk waktu siangnya,
minimal seperti dan setara dengan sikap pengistimewaan kita terhadap
bulan suci Ramadhan setiap tahun. Jika demikian, lalu apa sikap yang
harus kita tunjukkan dan amal serta ibadah apa sajakah yang sebaiknya
kita kerjakan dalam upaya mengistimewakan 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah ini? Berikut ini disebutkan beberapa poin sekadar sebagai
pengingat, semoga bermanfaat:
1. Hal pertama yang harus
dilakukan oleh setiap muslim dalam konteks ini adalah, menumbuhkan,
menjaga dan meningkatkan keyakinan, kesadaran serta perasaan akan mulia,
utama dan istimewanya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.
2.
Memiliki dan menyimpan kejujuran niat, kesungguhan tekad dan ketinggian
semangat untuk benar-benar mengistimewakan hari-hari teristimewa ini
dengan bermacam ragam amal dan ibadah yang serba istimewa, demi
mengharap derajat taqwa dan nilai pahala nan istimewa pula. Serta
bermujahadah sebisa mungkin untuk tidak melewatkan sedikitpun dari
waktu-waktunya secara sia-sia.
3. Menguatkan dan meningkatkan
kepekaan rasa kewaspadaan keimanan, dengan senantiasa berupaya keras
untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan dan
pelanggaran syar’i pada hari-hari termulia tersebut, baik dalam bentuk
meninggalkan kewajiban maupun dengan melakukan yang dilarang dan
diharamkan.
4. Karena amal yang diistimewakan pada 10 hari
pertama bulan Dzulhijjah, berdasar hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma diatas, tidak dibatasi pada jenis amal tertentu, maka pada
prinsipnya amal atau ibadah apapun, sekali lagi amal saleh dan ibadah
apapun, baik yang bersifat ritual, sosial maupun lainnya, sesuai
situasi, kondisi, kebutuhan dan kesanggupan masing-masing kita, bisa
saja dilakukan dan sekaligus berpotensi untuk menjadi amal yang paling
dicintai oleh Alloh Ta’ala, yang tentu saja berarti akan bernilai pahala
super istimewa tiada tara. Dan itu meliputi (sekadar contoh) misalnya:
shalat, zakat, infak, sedekah, dakwah, mencari nafkah, menuntut ilmu
atau mengajarkannya, juga membaca Al-Qur’an, mempelajarinya dan
mengajarkaannya, berdzikir, beristighfar dan berdoa, berbakti kepada
orang tua, menyambung tali silaturrahin dengan keluarga dan lainnya,
membantu sesama, berbagi hikmah dan kebajikan dimana serta kepada siapa
saja, dan seterusnya dan seterusnya.
5. Jika amal yang lebih
diutamakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah ibadah-ibadah
spesial malam hari, seperti qiyamullail atau tahajjud, tadarus
Al-Qur’an, itikaf, dzikir, doa, munajat, istighfar, dan semacamnya, maka
yang lebih diistimewakan pada 10 hari pertama Dzulhijjah ini adalah
jenis-jenis amal ibadah spesial siang hari, dan salah satu yang paling
utama tiada lain adalah ibadah puasa. Maka disunnahkan dan dianjurkan
agar setiap muslim memperbanyak puasa pada 10 hari ini, tentu saja
kecuali tanggal 10-nya yang merupakan hari raya Idul Adha, dan yang
memang diharamkan puasa padanya. Namun untuk ibadah puasa ini terbagi
dua, yakni yang berifat umum dan khusus. Yang umum adalah puasa dari
anggal 1 – 8 Dzulhijjah, dimana kesunnahannya tidak berdasarkan dalil
khusus, melainkan mengacu pada keumuman hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma dimuka, dimana setiap amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah
adalah yang paling dicintai oleh Alloh Ta’ala. Dan sudah barang tentu
ibadah puasa menempati peringkat utama dan istimewa dalam daftar amal
saleh yang disebutkan itu. Apalagi, seperti yang telah disebutkan, yang
lebih utama dari 10 hari pertama Dzulhijjah itu adalah waktu siangnya,
dan puasa merupakan salah satu jenis amal ibadah spesial siang hari yang
teristimewa. Oleh karenanya dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam
An-Nawawi rahimahullah menulis bab khusus dengan judul: Fadilah Puasa
dan Amal-amal Lain Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah, lalu beliau
menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang telah dikutip
dimuka. Adapun puasa yang bersifat khusus dengan dalil khusus dan
fadilah khusus pula, adalah puasa hari Arafah, yakni pada tanggal 9
Dzulhijjah. Dimana saat ditanya tentang fadhilah dan keutamaan puasa
hari wuquf di Arafah (bagi selain jamaah haji), Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Ia bisa menghapuskan (dosa) satu tahun yang
telah berlalu dan (dosa) satu tahun lagi yang akan datang” (HR. Muslim
dari sahabat Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu).
6. Memperbanyak
kumandang takbir, tahlil dan tahmid dengan suara keras di rumah-rumah,
masjid-masjid, jalan-jalan, pasar-pasar dan lain-lain, pada 10 hari
pertama bulan Dzulhijjah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya):
“Tiada hari yang lebih agung bagi Alloh, dan
amal saleh padanya lebih dicintai oleh-Nya, dibandingkan 10 hari
(pertama Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah padanya ucapan tahlil,
takbir dan tahmid” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan
dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah).
Imam
Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bahwa, sahabat Ibnu Umar dan Abu
Hurairah dulu biasa pergi ke pasar pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah
seraya mengumandangkan takbir, sehingga masyarakatpun bertakbir
mengikuti takbir keduanya. Itu untuk tuntunan takbir yang bersifat umum.
Adapun untuk praktik takbir yang bersifat khusus terkait dengan syiar
hari raya Idul Adha, maka menurut jumhur ulama disunnahkan agar
dilakukan mulai selepas shalat subuh pada hari Arafah (tanggal 9
Dzulhijjah) sampai shalat asar hari terakhir tasyriq (tanggal 13
Dzulhijjah), dimana ucapan takbir dikumandangkan pada setiap usai shalat
fardhu dan diutamakan pada pagi hari raya Idul Adha saat seseorang
berangkat ke tempat shalat Ied.
7. Menyembelih hewan qurban,
dengan motivasi utama sebagai sebuah bentuk ibadah ritual persembahan
kepada Allah, bukti penghambaan dan syiar deklarasi kemurnian tauhid
kepada-Nya, dan bukan dengan sekadar niat bersedekah daging. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
“Tiada satu amal
pun yang dilakukan seseorang pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang
lebih dicintai oleh Alloh daripada mengalirkan darah (hewan qurban yang
disembelih). Maka berbahagialah kamu dengannya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
8. Mengikuti
shalat Idul Adha, dan mendengarkan khutbah seusainya. Adapun bagi kaum
perempuan yang berhalangan, maka dianjurkan untuk tetap turut menghadiri
penyelenggaraan shalat, meskipun tentu tidak boleh mengikutinya,
melainkan untuk mendapatkan siraman rohani dan pencerahan ilmu dari
khutbah yang disampaikan, serta sekaligus untuk turut menyemarakkan,
memeriahkan dan meramaikan suasana hari raya sebagai momen kegembiraan
ummat Islam dan syiar kebersamaan serta persatuan kaum muslimin.
Sedangkan ketika hari raya qurban jatuh pada hari Jum’at, seperti yang
akan datang ini, maka bagi yang mengikuti shalat Id diberi rukhshah
(keringanan) untuk tidak menghadiri shalat Jum’at, dan cukup melakukan
shalat dzuhur saja seperti hari-hari lain. Namun meskipun begitu, lebih
baik baginya jika tetap turut menunaikan shalat jum’at bersama kaum
muslimin yang mengadakannya. Sedangkan bagi penanggung jawab atau takmir
masjid jami’, yakni masjid yang biasa didirikan shalat jum’at di
dalamnya, diharuskan tetap menyelenggarakannya, agar bagi kaum muslimin
yang ingin, bisa berkesempatan untuk menjalankannya. Karena saat terjadi
shalat Idul Fitri pada hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya):
“Telah berhimpun pada hari kalian ini
dua hari raya. Barangsiapa yang ingin, maka (shalat Id) telah cukup
baginya untuk mewakili shalat Jum’at. Namun kami tetap akan
menyelenggarakannya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim
dan lain-lain, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
9. Dan last but not least, tentu saja amal ibadah paling agung dan
tertinggi pada bulan Dzulhijjah ini, bagi yang mampu dan berkesempatan,
tiada lain adalah ibadah haji dan umrah di Tanah Suci Mekkah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
“Ibadah umrah
satu ke umrah yang lain adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji
yang mabrur itu tiada balasan baginya kecuali Surga” (HR. Muttafaq
‘alaih)
H. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar