Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah. Hidayat Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara.
Nama Hidayat Nur Wahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia. Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Bermain di sawah, mencari ikan di sungai dan menggembala ternak adalah keseharian Hidayat kecil. Ayah beliau adalah seorang guru dan berpikir jauh ke depan. Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa. Rupanya, inilah yang menjadi dasar bagi langkah besar beliau di masa depan, masa saat sekarang. Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini tampak pada kehidupan beliau hingga beranjak dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum masuk Pondok Modern Gontor, beliau juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes. Kecerdasan Hidayat Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, beliau mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga.
Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama menempuh pendidikan di Gontor, beliau mengikuti banyak kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, juga mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. beliau juga diangkat menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok Gontor. Beliau tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor tahun 1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Hidayat Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah. Selepas S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.
Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan dr. Diana Abbas Thalib MARS, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.
Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat Nur Wahid memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik. Gerakan Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.Aktivis gerakan ini secara khusyu’ mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim. Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada Cak Nur. Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik, untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak. Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID).
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah Al Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004. Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif. Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya. Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid. Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan, Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga, adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan aspirasi politik publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial, bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan. Di bawah kepemimpinannya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut Saiful Mujani, amat mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.
Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Hidayat Nur Wahid juga seorang pembelajar yang cepat. Dia belajar dengan maksimal di mana saja saat mendapatkan amanah dan tugas. Termasuk ketika terpilih sebagai Ketua MPR periode 2004-2009. Beliau mengaku, dahulu dia tak akrab dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi kini UUD 1945 dihafalnya luar kepalanya. Ini karena beliau selalu berprinsip bagaimanapun amanah yang didapat, akan dia kerjakan dengan maksimal.
Beliau dengan cepat dikenal sebagai politisi yang senantiasa mengedepankan moralitas. Selaras dengan profilnya yang sederhana, low profile dan rendah hati. Sosoknya sebagai pribadi dan pemimpin berjiwa sosial sudah sangat dikenal masyarakat. Beliau selalu terlibat aktif dalam berbagai aktivitas sosial dan peduli korban bencana. Seperti bencana banjir ibukota, tsunami Aceh, gempa Yogya dan Jateng serta lokasi-lokasi bencana lainnya. Hidayat Nur wahid tidak hanya bicara ikut prihatin atau sekedar meninjau, tetapi turun langsung membantu mengangkat jenasah korban tsunami di Aceh tahun 2004.
Selain itu aktivitasnya dalam menyantuni anak-anak yatim, pembangunan masjid dan pesantren, pemberian beasiswa bagi pelajar tak mampu dan berbagai aktivitas sosial lainnya dilakukannya tanpa mengharap sesuatu.
Sebagai dai dan juga berperan sentral dalam pembangunan Masjid Raya Al Muttaqun, Prambanan, Klaten dia pernah menjadi imam sekaligus khatib di Alun-alun Klaten. Tanpa canggung, dia pun menyembelih sendiri dua ekor sapi kurban. Sebelumnya, ketika Idul Fitri 1429 H di Boyolali, dia menyampaikan khutbah di hadapan ribuan jamaah. Sampai saat ini, Hidayat juga masih aktif mengisi khutbah Jumat di masjid-masjid serta mengisi acara-acara kajian Islam di stasiun-stasiun televisi.
Kepeduliannya terhadap keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila juga tak diragukan lagi. Dalam berbagai kesempatan Hidayat selalu menegaskan bahwa Pancasila dan NKRI adalah kesepakatan final bangsa Indonesia. Begitu pula komitmennya pada UUD ’45. Hidayat selalu menyatakan sebagai pihak yang berada di garda terdepan untuk mempertahankannya.
Beliau juga diterima tokoh-tokoh internasional. Sejumlah seminar, dialog dan forum-forum diskusi tingkat internasional dihadirinya. Mulai dari dialog agama di Makkah, dialog antaragama di Madrid, Spanyol, seminar isu-isu kontemporer dengan Lee Kuan Yew di Singapura hingga konferenesi internasional Amerika dan Islam di Doha, Qatar.
Selama menuntut ilmu di Madinah, Arab Saudi tidak membuat beliau tercerabut dari akar budaya Jawa. Hidayat Nur Wahid tetaplah Wong Jowo yang suka wayang. Dia bahkan mengidolakan tokoh Kresna. Alasannya, Kresna adalah sosok pemimpin yang bijak, mengayomi, menjaga persatuan dan bisa mencari solusi bagi setiap masalah.
Di rumah orangtuanya di Kadipaten, Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten, beliau menyimpan tiga buah wayang Kresna bersama kitab-kitab kuning. Kecintaan pada wayang ditunjukkan dengan kesediaannya menjadi Anggota Dewan Pembina Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) dan hadir membuka festival wayang internasional pertama di Surabaya.
Usul Masjid di Sekretariat PBB
Di kancah internasional Hidayat Nur wahid juga aktif ambil bagian. Barangkali tak banyak yang tahu, bahwa Hidayatlah orang yang mengusulkan agar di Sekretariat Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibangun sebuah tempat untuk beribadah umat Islam. Ini terjadi pada awal tahun 2010 lalu. Ketika itu PBB berencana merenovasi markasnya.
Sebagai Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Hidayat Nur Wahid, memanfaat momentum itu mengajukan usul pembangunan fasilitas ruang khusus yang dijadikan tempat beribadah.
''Selama ini, ruang yang dijadikan tempat shalat, juga untuk Jum'atan saja berada dalam gudang menyimpan mesin ketik bekas, dan barang rongsokan lain. Kotor, jorok dan bau apeg,'' tutur Hidayat.
Usul Indonesia membangun tempat ibadah, menurut Hidayat, bukan berarti PBB harus membangun masjid secara khusus. Tapi, di sana mesti dibangun tempat khusus, yang suci, yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang menjalankan ibadahnya masing-masing. Jadi, ruang tersebut multifungsi.
Hidayat Nur Wahid mengajukan usulan ini dikandung maksud, agar bagaimana orang melakukan ibadah (sesuai keyakinan masing-masing) dengan enak, khusyu’ dan tenang. Tempat ini semacam praying room. Seperti, di setiap bandar udara. Ada ruang terbuka, dimana orang bisa melakukan sesuatu dengan nyaman. Yang penting, tempat itu bersih, suci. ''Orang bisa melakukan ibadah dengan serius. Sehingga buah dari ibadah itu bisa menghasilkan pikiran, putusan apapun yang terbaik, bermanfaat bagi semua orang,'' tambahnya.
Hidayat kini tak lagi hanya milik PKS. Hidayat sudah menjadi milik bangsa. Makin banyak kalangan yang merasa turut “memiliki” Hidayat. Hidayat dengan gembira menyambut siapa saja untuk turut bersamanya berjuang demi bangkitnya kembali Indonesia.
Dan di tahun 2012 ini, HNW bersama Didik J Rachbini dicalonkan sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diusung PKS. Sampai tulisan ini dibuat, dukungan terus mengalir kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini. Tidak hanya dari kalangan Ulama, Habib, Pondok Pesantren, Majelis Taklim atau aktifis Islam antar harokah, dukungan juga datang dari kalangan non Muslim berbagai suku dan etnis.
Dan di tahun 2012 ini, HNW bersama Didik J Rachbini dicalonkan sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diusung PKS. Sampai tulisan ini dibuat, dukungan terus mengalir kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini. Tidak hanya dari kalangan Ulama, Habib, Pondok Pesantren, Majelis Taklim atau aktifis Islam antar harokah, dukungan juga datang dari kalangan non Muslim berbagai suku dan etnis.
UNTUK MELIHAT PROFIL LENGKAP UST. HIDAYAT ... KLIK INI
Habib Nabil Al Musawa menulis tentang Hidayat Nur Wahid. KLIK INI untuk membacanya.
Sumber: Para sahabat di PKS, Dakwatuna.com, Islammedia.com, Relawan Hidayat, DLL
Pemimpin yang lain kapan bisa mengikuti ya..
BalasHapussemoga aja makin banyak ... Aamiin ... ... ...
BalasHapusSAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
BalasHapus