CHOOSE YOUR LANGUAGE:

CHOOSE YOUR LANGUAGE:

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 01 Januari 2012

"NILAI AKHLAK DIBALIK JILBAB" Dra Wirianingsih, Bc Hk MSi (Presidium BMO-IWI)

Atas izin Alloh SWT, muslimah berjilbab tumbuh subur di negeri ini. Jilbab tumbuh subur di negeri ini setelah melalui perjuangan, pengorbanan, air mata, dan derita panjang para Muslimah yang mempeloporinya.

Setidaknya, sejarah mencatat dengan tinta emas, perjuangan kaum jilbaber sejak awal 1980-an. Meski sebelum itu, juga sudah ada yang memperjuangkannya. Tapi semua pihak sepakat bahwa gerakan yang secara massif mengajak kaum Muslimah Indonesia untuk menutup aurat, dimulai awal 1980-an. Seiring dengan semangat kebangkitan Islam di seluruh dunia.

Lantas, apa saja yang telah dicapai dan belum diraih oleh perjuangan “Revolusi Jilbab” di tanah air ini setelah berjalan selama 31 tahun.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Wartawaan SABILI Daniel Handoko, berbincang dengan salah satu pelopor gerakan jilbab era 1980-an. Dialah Ustadzah Wirianingsih yang memiliki 10 anak penghafal Al Qur'an, istri dari Mutammimul 'Ula SH (anggota DPR RI dari PKS 2004-2009), mantan Ketua Umum PP Salimah 2005–2010 yang sekarang menjabat Presidium BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia) 2007–2012. Wawancara dilakukan di Kantor BMO-IWI, Masjid Istiqlal Jakarta, Rabu (16/11/2011).

Bisa ceritakan tentang maraknya jilbab era 80-an?
Saya ingat, kesadaran Muslimah untuk berjilbab berjalan berkelindan dengan kebangkitan Islam yang dipicu oleh runtuhnya kekuasaan Syah Reza Pahlevi di Iran dan kemenangan kaum Mullah yang melahirkan Revolusi Islam di Iran. Setelah itu, kebangkitan Islam melanda di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, revolusi jilbab bisa dikatakan berjalan seiring dengan maraknya gerakan dakwah pada era 80-an. Saat itu, selain jilbab, juga mulai menjamur buku-buku tentang harakah (gerakan Islam), buku-buku dakwah, dan kegiatan yang bernuansa napak tilas perjuangan Masyumi. Ini semua memberikan pengaruh terhadap aktivis gerakan Islam saat itu.

Apa yang membuat kondisi saat itu sangat kondusif?
Kondisi saat itu memang kondusif untuk membangun kesadaran perempuan dalam berjilbab. Berpuluh tahun umat Islam berada dalam kondisi represif rezim Orde Lama dan Orde Baru. Semakin ditekan, kaum Muslim justru semakin sadar untuk bangkit, dengan membangun OTB (Organisasi Tanpa Bentuk). Yang penting subtansi dakwah terus berjalan meski gerakan dakwah di larang oleh rezim Soeharto. Inilah yang mengkristalkan kaum Muslimah Indonesia untuk menampakkan identitas Muslimahnya.

Reaksi yang kemudian muncul?
Yang kemudian terjadi memang reaksi. Saat itu, pemerintah menerapkan paham asas tunggal, yang tak sesuai dengan asas tunggal akan dieliminir dan ditekan oleh pemerintah. Terkait soal jilbab, dimunculkan pencitraan bahwa Muslimah yang berjilbab berasal dari gerakan (aliran) sesat. Termasuk yang menimpa saya. Tahun 1980-an ketika saya kuliah di Fakultas Hukum UNISBA Bandung, baru saya yang memakai jilbab. Saat itu saya seangkatan dengan Anne Rufaidah, dia di Fakultas Psikologi, tapi dia belum pake jilbab. Saat itu, saya juga kuliah di UNPAD Bandung, juga baru saya dan seorang akhwat Jurusan Sastra Arab, Lely namanya yang memakai jilbab.

Saat itu, saya memang sudah memiliki kesadaran untuk berjilbab dan berbusana Muslimah secara syumuliyah (konprehensif) sehingga saya melakukannya secara totalitas, tidak hanya ketika di kampus saja. Ketika saya pulang ke rumah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, seingat saya, saat itu juga baru 1 orang yang memakai jilbab panjang dan rapat seperti saya. Mungkin ada Muslimah lain yang memakai kerudung tapi di lepas-lepas. Saat itu, fenomenanya jika datang ke tempat pengajian mengenakan kerudung tapi ketika selesai langsung dibuka. Ada juga teman-teman yang sekolah di sekolah Islam atau kuliah di Fakultas Islam, seperti Tarbiyah, Ushuludin, atau Dakwah karena aturannya harus memakai kerudung mereka memakai ketika sekolah atau kuliah, tapi setelah keluar dari kampus atau sekolah dilepas.

Banyak juga guru-guru sekolah Islam dan dosen yang memakai kerudung pada saat mengajar, tapi ketika sampai rumah dibuka kerudungnya. Jadi ketika masyarakat melihat fenomena saya dan beberapa teman konsisten, selalu memakai jilbab tanpa dilepas, kemudian modelnya juga jilbab panjang dan rapat, saya dan beberapa teman itu sempat dituduh sebagai Islam Jamaah. Ketika masih di Jakarta, saya sekolah di SMA 13, teman-teman banyak yang memandang aneh kepada saya ketika saya pulang ke rumah dengan mengenakan jilbab panjang sepanjang hari.

Bisa dikatakan ibu pelopor jilbab di Jakarta dan Bandung?
Saya tidak merasa sebagai pelopor. Yang pasti, ketika kuliah di UNPAD, saya dan Lely melakukan gerakan mengumpulkan akhwat. Saya aktif di Divisi Kewanitaan Masjid UNPAD. Padahal, saat itu UNPAD melarang jilbab. Setiap Dekan mengeluarkan larangan pemakaian jilbab pada pas foto untuk kartu mahasiswa dan ijazah. Sebagai aktifis masjid, saya dan beberapa teman berusaha melobi rektor agar mengizinkan pemakaian jilbab bagi mahasiswi. Seiring dengan ini, ternyata mulai banyak mahasiswi yang memakai jilbab di setiap fakultas. Saat itu sudah terkumpul sekitar 300 mahasiswi dari berbagai fakultas yang sudah memakai jilbab.

Akhirnya, saya dan lima orang teman menghadap rektor, sekali lagi minta kebijakan untuk tidak menekan mahasiswa yang ingin memakai kerudung di kartu mahasiswa dan ijazah. Saat itu rektor menyatakan, pada prinsipnya pihak kampus tidak melarang tapi kebijakan ini diserahkan kepada dekan fakultas masing-masing. Alhamdulillah, melalui pendekatan yang terus menerus ke dekan akhirnya di fakultas saya dibolehkan. Tapi di Fakultas Psikologi tetap dilarang. Beberapa fakultas juga melarang mahasiswanya kuliah karena pas foto di kartu mahasiswanya memakai jilbab.

Ketika saya KKN tahun 1985, dikabari via telegram oleh teman-teman kampus bahwa kondisi UNPAD gawat. Semua mahasiswi berjilbab mau demo ke rektor. Jika itu terjadi bisa bahaya urusannya, saat itu saya berfikiran, akan berefek pada penekanan terhadap kegiatan keislaman lain. Padahal kegiatan masjid kampus sedang bagus, bahkan pak Bagir Manan saat itu sempat menjadi pembina masjid Unpad. Ketika saya sampai UNPAD, di aula sudah bekumpul 300 orang dan saya duduk di depan bersama Lely. Akhirnya, saya kasih 2 pilihan.

Pertama, bagi yang meyakini ini adalah pilihan hidup dan yakin Alloh SWT akan menolong silahkan tetap mengenakan jilbab untuk pas fotonya dengan konsekuensi tidak mendapat kartu mahasiswa dan keluar dari Unpad. Tapi sebelum ambil alternatif ini, coba lobi dulu secara personal dekan masing-masing, toh kuliah juga tidak lama dan barangkali dekan masih memiliki hati. Saat itu, saya sempat mentoring di 11 fakultas dan kondisinya memang sedang bagus-bagusnya.

Kedua, kompromi dengan dekan. Maksudnya, dibuka dulu jilbabnya untuk sekadar foto, karena yang diminta tidak berjilbab hanya di kartu mahasiswa. Artinya, sehari-harinya tetap memakai jilbab dan tidak semua orang akan membuka kartu mahasiswa kita.

Semangat berjilbab ini dicontoh keluarga?
Iya. Totalitas saya berjilbab akhirnya menginspirasi adik, kakak, dan ibu saya, apalagi ibu saya ketua majelis taklim. Semuanya ikut berjilbab. Tapi tetangga mulai ngomongin, saya disebut masuk aliran sesat atau Islam Jamaah. Adik saya yang masih kelas 1 di SMA 15, akhirnya juga ikut memakai jilbab rapi kemudian ditentang oleh kepala sekolah. Siswa yang berjilbab dikasih dua pilihan, memilih sekolah atau keluar. Jika dipakai terus jilbabnya silakan keluar. Akhirnya, teman-teman banyak yang tak kuat, masuk area sekolah jilbabnya di lepas dan ke luar area sekolah dipakai lagi. Adik saya tak mau seperti itu, ia bilang mending sekolah di tempat lain ketimbang membuka jilbab. Karena dia konsisten pakai jilbab termasuk di sekolah, akhirnya ia keluar dari sekolah.

Selain masjid kampus dan sekolah, sosialisasi jilbab dilakukan di mana saja?
PII (Pelajar Islam Indonesia) juga memegang peran penting dalam dakwah jilbab ini, apalagi pada saat itu sedang memasuki puncak mengerasnya pemahaman keislaman. Sampai-sampai, saat itu muncul istilah GAS (Gerakan Amal Soleh) dan Gerakan Kembali ke Usroh. Dan, semua training PII mewajibkan semua peserta Muslimahnya memakai jilbab. Selanjutnya dari sekolah-sekolah dan keteladanan para tokoh yang sudah melakukan pembelaan pada perempuan yang memakai jilbab. Ada tokoh dari Muhammadiyah, NU, Persis, Dewan Dakwah dan ada juga tokoh pendidik, rohis sekolah dan kampus. Di sekolah negeri kondisinya juga sudah terpolarisasi.

Saat kuliah, tekanan berasal dari kampus. Setelah lulus dari mana?
Opini di masyarakat bahwa hampir semua instansi pemerintah dan perusahaan swasta menolak karyawati yang memakai jilbab. Suasana dan opini seperti ini sampai tahun 90-an bahkan hingga awal 2000-an masih sangat terasa. Saat itu, saya sering mengisi pengajian di kantor pemerintah maupun swasta, banyak jamaah Muslimah yang menghadapi dilema.

Pertama, dilema untuk tetap menutup aurat atau keluar dari pekerjaan, karena umumnya perusahan atau instansi tertentu menolak dan mengatakan bahwa jilbab bukan uniform (seragam) untuk bekerja. Akhirnya, banyak di antara mereka yang mengambil keputusan tetap memakai jilbab tapi ketika sampai kantor dibuka. Ketika pulang baru dipakai lagi.

Kedua, bagi yang bekerja di hotel, pub, kafe atau showroom yang menyajikan produk bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya di restoran, mereka mengetahui ada masakan memakai arak atau dicampur babi. Sementara restoran itu tidak menyebutkan makanan halal atau haram. Biasanya, mereka yang bekerja di tempat seperti ini akan mengalami tekanan tersendiri. Pasalnya, ketika mereka memutuskan untuk berjilbab secara total, biasanya diiringi dengan kesadaran untuk menerapkan ajaran Islam secara lebih baik dan mendekati kaffah. Sehingga, jilbab yang dikenakannya bukan sebatas jilbab saja, tapi ada kesadaran dan perlawanan untuk menerapkan syariat Islam.

Apakah hal seperti ini masih terjadi sampai sekarang?
Saya kira praktik seperti di atas masih terjadi. Padahal, konsumennya banyak yang Muslim tapi mereka tak tahu makanan yang dijual itu halal atau haram. Sementara jamaah yang kerja di restoran, kafe atau pub mengetahuinya. Ini yang akhirnya menimbulkan pertentangan batin, antara kepentingan syariah dengan maisyah (nafkah). Saya pikir kondisi seperti ini masih ada hingga saat ini. Bagi orang-orang yang memiliki komitmen tinggi bahwa rezeki datangnya dari Alloh bukan dari hotel, restoran, pub dan semacamnya, akhirnya mereka keluar dan mencari sumber penghasilan lain. Tapi ada juga yang cerdas dan kreatif, lalu mengumpulkan karyawan dan ramai-ramai datang ke manajemen secara baik-baik menyampaikan tuntutan mereka.

Jika manajemennya bijak dan tidak ada kebencian ideologis, sebab yang melarang biasanya karena ada faktor kebencian ideologis, seperti kekhawatiran ada Islamisasi atau penerapan syariat Islam sehingga Indonesia gak jadi Pancasila lagi. Atau, karena ada pertentangan dengan kalangan non Muslim di dalam manajemen, akhirnya mereka melarang. Jika manajemen netral dan objektif, umumnya berpandangan mau berjilbab atau tidak itu bukan soal, yang penting professional dalam bekerja. Demikian juga soal makanan, jika manajemennya objektif mestinya berfikir bahwa konsumennya ternyata mayoritas Muslim, maka jika tidak mengikuti selera konsumen pasti akan ditinggal. Jika konsumen mengetahui makanannya yang dijual mengandung babi, justru akan merusak citra sehingga tak laku lagi.

Apa perjuangan terberat saat itu untuk menyakinkan masyarakat?
Pertama, membangun opini melalui media massa karena tak semua media berpihak.
Kedua, menyakinkan tokoh masyarakat dan pemerintah. Ini dilakukan melalui lobi ke setiap tokoh yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan politik. Misalnya ke DPR, saat itu PPP yang mengakomodir. Kita juga mencoba mendekati beberapa menteri yang memiliki pemahaman Islam bagus seperti Menteri Agama agar membangun komunikasi secara intens di internal pemerintah.
Ketiga, melakukan lobi ke ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.

Revolusi jilbab telah terjadi sejak era 1980-an hingga saat ini dengan beragam gaya. Pandangan Anda?
Semua ini sejalan dengan reformasi tahun 1998. Begitu reformasi meletus, yang baik dan buruk semuanya terbawa. Yang baik adalah kebebasan orang untuk mengeskpresikan praktik beragama diantaranya berjilbab. Saya memandang keragaman orang berbusana Muslimah menunjukan beragamnya pemahaman terhadap Islam. Ada teman yang menyatakan, lebih baik tidak berjilbab daripada berjilbab tapi celana dan bajunya ketat. Menurut saya, orang ini sudah bisa menilai mana busana Muslim yang benar dan yang tidak. Doakan saja mereka yang masih dalam tahapan seperti itu lambat laun berubah dengan mengenakan busana yang rapi dan sopan. Kita menghormati mereka yang berjilbab dengan pemahaman mereka pahami. Yang justru tidak kita hormati adalah orang yang berbikini di jalan raya, di cover majalah, atau tempat-tempat umum lainnya. Ini yang harus kita ingatkan secara bersama-sama agar mereka sadar.

Pandangan ibu terhadap jilbab gaul yang fashionable tapi masih sesuai syar’i?
Ini perkembangan menarik, karena dilatarbelakangi satu opini bahwa jilbab itu terbelakang, kampungan, tidak gaul, terbelakang, dan gak fashionable. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sekelompok designer Muslimah atau perkumpulan jilbaber dan beberapa peragawati meyakinkan pada masyarakat bahwa busana Muslimah juga bisa modis, fashionable, tidak mengurangi kreatifitas dalam berbusana dan tentu saja tetap sesuai syariat. Saya sangat menghormati mereka yang berusaha mensosialisasikan bahwa Islam tidak terbelakang.

Tapi ada satu hal yang harus diingatkan bahwa keinginan untuk menyakinkan masyarakat jangan sampai keluar dari batas syariat. Maksudnya, ketika tampil di atas stage atau di depan publik, menampilkan busana Muslimah kecenderungannya banyak model yang tidak memakai (maaf) pakaian dalam, busananya tembus pandang, sehingga membentuk lekukan badannya. Atau, pada saat di stage dengan busana Muslimah dengan tidak memakai pakaian dalam tetap disaksikan oleh para pria. Hendaknya, nilai moral (akhlak) yang terkandung di balik busana Muslimah juga tercermin dalam perilaku hidup sehari-hari. Sesuatu yang lazim terjadi di fashion show umum ternyata tetap dibawa pada saat fashion show busana Muslimah. Jika begitu apa bedanya?

Niat kita tidak hanya menunjukan bahwa Islam itu tidak terbelakang soal busana tapi prinsip dasar syariatnya juga harus terus sosialisasikan. Karenanya, mereka yang mensosialisasikan busana Muslimah harus didukung dengan praktik penerapan nilai-nilia syariat berbusana dalam kehidupan sehari-hari. Busana Muslimah bukan sesuatu yang menjadi mode tersendiri, sementara aspek syariahnya berjalan sendiri. Bukan itu yang kita harapkan, tapi nilai-nilai syariah yang menyertai orang yang berbusana Muslimah juga harus disosialisasikan. Contoh, jika ingin memperagakan busana Muslimah gak perlu ada kehadiran laki-laki, jadi khusus untuk perempuan saja.

Prinsipnya asal sesuai syariat dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari, Bu?
Iya. Jika ini yang menjadi acuan akan lebih banyak lagi yang mensupport. Apalagi saya sekarang aktif di Badan Musyarawah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMO-IWI) akan sangat mendukung. Bahkan, Persaudaraan Muslimah saat ini sedang mengumpulkan jilbab untuk dibagikan kepada Muslimah lainnya. Indonesia ini penduduknya 235 juta, perempuannya sekitar 49,9% (BPS, Agustus 2010). Tapi karena berdasarkan sensus tahun 2005 jumlah perempuan sekitar 51%. Perkiraan saya dari 49,9% perempuan Indoensia, jika 80%-nya Muslimah, berapa prosen yang memakai jilbab? Berapa prosen yang mengerti syariat? Artinya kebutuhan untuk mensosialisasikan jilbab dan syariat Islam masih sangat besar.

Coba lihat di majelis taklim, banyak yang memakai kerudung hanya di majelis taklim. Kita sedang mensosialisasikan, makanya makin banyak orang yang berjilbab semakin bagus. Saya sering jalan dengan suami dan melihat fenomena Muslimah tak berjilbab. Penduduk Indonesia mayoritas Muslim, seharusnya lebih banyak yang memakai kerudung dari pada yang tidak. Tapi kenapa justru orang kita lebih bangga melihat anak-anaknya memakai baju ketat bahkan pusernya terlihat. Di toko baju banyak serbuan busana barat. Itu bukan budaya Islam tapi laku keras. Inilah yang disebut ghazwul fikri, serbuan budaya barat dan sebagainya. Ini harus dibentengi dengan dakwah untuk membangun kesadaran kaum Muslimin tentang menutup aurat, lalu kita support dengan program bagi-bagi jilbab. Jika pulang kampung atau ke mana oleh-olehnya jilbab saja. Seburuk-buruknya Muslimah kita jika datang ke acara keagamaan pasti memakai kerudung, meski cuma nempel saja.

Sebagian kalangan muda bertekad, tahun 2020 Indonesia harus menjadi kiblat fashion muslimah dunia. Pandangan ibu?
Sangat bagus. Jika perlu saya bantu dari BMOIWI, karena perlu ada sinergi dengan banyak organisasi Muslimah di Indonesia agar bisa disosialisasikan secara masif. Seperti PP Muslimat NU punya massa sekitar 5 juta orang, PP Aisyiah, dan masih banyak lagi. Kerja sama kemitraan bisa dilakukan agar target tahun 2020 bisa terwujud. Bagaimana jilbab bisa menjadi pakaian keseharian kita. Jadi, setiap orang masuk ke Indonesia bisa melihat bahwa Muslim memang mayoritas dengan banyaknya Muslimah berjilbab. Sekarang nuansa keislaman lebih terasa di Malaysia. Di sana pakaian Melayu, baju kurung, menjadi lumrah dalam kehidupan sehari-hari.

Maraknya jilbab, apa bisa disebut sebagai keberhasilan dakwah kultural?
Salah satu keberhasilan dakwah memang maraknya jilbab. Ini pula yang ditakuti oleh mereka yang tak suka. Fenomena yang paling terlihat dalam performance indicator dakwah adalah perempuan, yakni dari busananya. Jika tak memakai kerudung kita tak tahu dia Muslim atau bukan. Dengan kerudung orang tidak perlu bertanya lagi dia adalah Muslimah. Makanya, selama ratusan tahun gerakan dakwah Islam di belahan dunia manapun yang selalu mengalami degradasi terlebih dulu adalah kalangan perempuan. Kanapa? Karena ini yang paling efektif. Cara memorosotkan gerakan dakwah yang efektif melalui perempuan, makanya mereka menjadi sasaran utama. Misalnya, membuat agar Muslimah tidak kembali pada agamanya. Caranya disibukkan dengan shopping, menghabiskan waktu yang tak bermanfaat, sehingga lupa pada agama dan lupa pada fungsinya sebagai Muslimah.

Ketika seorang ibu memiliki kesadaran Islam yang bagus dan menutup aurat, akan berimplikasi pada pemahaman agama anak-anaknya. Anaknya melihat ibunya memakai jilbab, anak melihat contoh langsung yang baik. Bahkan ketika bayi mulai kenal dengan identitas di sekelilingnya, ketika ibunya menutup aurat, itulah perkenalan ajaran Islam pada anaknya. Jadi, bagaimana ketika ibu-ibu kita tak memakai jilbab? Darimana anak mendapat contoh penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari? Jika ibu ke mana-mana pakai kutang, tang top dan segalanya, anak pun akan meniru ibunya dalam berbusana. Kemudian efek psikologis, jika anak tahu ibunya menutup aurat ia akan menjaga minimal implikasi secara psikologis. Jika anak mau merokok atau perbuatan lain gak sampai hati melihat ibunya seorang Muslimah yang baik. Jika kita kuat melakukan dakwah kultural ini secara perlahan akan meluas dan mempersempit gerakan ghazwul fikri.

Perlu didukung dakwah politik?
Bagusnya keduanya harus berjalan. Jika berjalan seiring dengan penegakan aturan melalui politik dan kebijakan akan mempercepat dakwah kultural. Pemahaman saya sebagai aktifis, dakwah kultural umumnya memiliki implikasi positif pada gerakan politik. Dakwah kultural yang bagus akan melahirkan SDM yang bagus, birokrat yang bagus, anggota legislatif yang bagus, dan tidak korup, sehingga akan melahirkan kebijakan yang bagus. Saat ini banyak pejabat yang melakukan korupsi dan kebijakannya tak bagus karena dakwah kultural masih belum maksimal dan kurang efektif.

Setelah jilbab marak, selanjutnya apa lagi?
Jilbab memang sudah marak tapi belum merata. Karenanya, sosialisasi gerakan jilbab harus lebih digiatkan karena belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Memang tren 20 tahun terakhir menunjukan hal positif tapi harus digiatkan lagi. Kedua, pemahaman tentang berjilbab juga harus sejalan dengan akhlak. Sudah memakai kerudung harus dikuatkan persatuan Muslimnya, harus dibarengi dengan kematangan soal pemahaman agama yang berimplikasi pada gerakan seni dan budaya. Artis-artis berjilbab dan tokoh masyarakat harus bisa melahirkan seni budaya yang lebih bermartabat dan bermanfaat bagi masyarakat. Tayangan sinetron berbau reliji dan artis berjilbab hendaknya menyatu dalam kehidupan sehari-hari sebagai artis di TV atau film dengan kehidupan bermasyarakat.

Data Pribadi:
Nama : Wirianingsih
Tgl Lahir : Jakarta, 11 September 1962
Pendidikan : S1 Fikom UNPAD, D3 FH UNISBA, S2 Kajian Islam dan Psikologi UI
Status : Menikah
Suami : Mutammimul Ula SH
Anak : 11 orang (1 wafat )
Aktivitas : Mengisi ceramah, pengajian, seminar, workshop tentang Muslimah, keluarga, dan pendidikan anak.

Organisasi : Presidium BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia) 2007–2012, Ketua Yayasan Citra Insani 2009–Sekarang, Ketua Umum ASA Indonesia 2006–Sekarang, Sekum Korwil PII Wati Jabar 1981-1983, PB PII (Korpus PII Wati) 1983-1986, SM Fikom UNPAD 1983, BPM FH Unisba 1982, DKM Masjid UNPAD 1982–1985, Ketua Yayasan Humairo 1996–2005, Ketua Umum PP Salimah 2005–2010.

Sumber: Majalah Sabili No 5/XIX, 8 Desember 2011

BACA JUGA YANG INI:



6 komentar:

  1. mantap artikel-nya sob... bisa menjadi renungan nie..

    BalasHapus
  2. makasih... isi blog ini lebih banyak dari hasil copas kok ^_^

    BalasHapus
  3. sesuatu yang menarik...sesuai buat renungan kita sebagi umat islam....

    BalasHapus
  4. Thanks for visiting, a super weekend, with joy and friendship. greetings ♥ ♫ ☼ ♪ ☺ ♥

    BalasHapus
  5. This is very nice prayer.. Thank you.. have a great day.!!! happy blogging...

    BalasHapus
  6. Hey! :) Thanks a lot for the visit! Hope to see you soon again! :) :)

    BalasHapus