CHOOSE YOUR LANGUAGE:

CHOOSE YOUR LANGUAGE:

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 10 Juni 2011

TEMAN SETIA KITA


Saat maut menjemput dan manusia dengan suka rela atau terpaksa harus pergi meninggalkan dunia ini. Sesungguhnya ia hanya akan diiringi oleh tiga 'iring-iringan'
(1) keluarga
(2) hartanya
(3) amalnya.

Keluarga hanya akan mengantarkannya sampai pinggiran kuburan, tak mungkin menemaninya hingga kedalamnya.
Hartanya (rumah, apartemen, tanah yang luas, kebun yang indah, perusahaan yang banyak dan harta tak bergerak lainnya) bahkan sejak awal tak mungkin ikut mengirimnya. Harta yang bisa mengiringi dan menemaninya hanya kain kafan yang melekat di badan. Itupun hanya sampai di dalam kuburan. Saat-saat kematian seperti itu hanya amal yang pasti bakal tetap setia mengiringi sekaligus menemaninya hingga ia berjumpa dengan Rabb-nya. Bukan hanya menjadi teman setia yang mengiringi, bahkan amalnya itulah (tentu jika merupakan amal shaleh) yang juga bakal dengan setia dan sukarela menjadi pembela di hadapan Mahkamah pengadilan Akhirat yang tentu maha dahsyat !!

Saat itu, keluarga, termasuk istri/ suaminya sekalipun tak mungkin turut membela dan menolongnya. Mereka bisa jadi malah mencelakakannya kecuali anak-anaknya yang shaleh/ shalehah.

Bagaimana dengan hartanya? Tak mungkin pula ia bisa membela dan menolongnya boleh jadi hartanya itu malah memberatkan dan membebaninya di hadapan Hakim yang Maha Adil Alloh Azza wa jalla kecuali harta yang pernah ia sedekahkan, ia hadiahkan, ia hibahkan atau ia wakafkan di jalan-Nya. Jika memang hanya amal shaleh satu-satunya teman setia yang akan mengiringi, menemui sekaligus membela manusia saat dimajukan ke Mahkamah Pengadilan Akhirat, faktanya banyak manusia yang lebih sering disibukkan untuk mencari dan mengumpulkan harta kekayaan, mengejar jabatan dan kedudukan, serta terobsesi untuk meraih sukses dunia yang fana.

Sebaliknya, mereka sering abai untuk memperbanyak amal shaleh, mengejar pahala/ surga dan terobsesi meraih sukses ukhrawi yang abadi. Padahal baginda Rasulullah Saw pernah bersabda ”Tuhanku pernah menawariku untuk mengubah bukit-bukit di Makkah menjadi emas. Namun, aku menadahkan tangan kepada-Nya seraya berkata. "Ya Allah, aku lebih suka sehari kenyang dan sehari lapar agar aku bisa mengingat-Mu, saat lapar serta memuji-Mu dan bersyukur kepada-Mu saat kenyang" (HR. At Tirmidzi)

Suatu ketika, Umar bin al Khaththab ra bertamu ke rumah Baginda Rasulullah Saw. Saat dipersilahkan masuk kerumah beliau. Ia mendapati beliau bangkit dari pembaringan. Beliau berbaring bukan diatas kasur yang empuk. Tetapi hanya diatas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah kurma. Saat beliau bangkit, tampak ditubuh beliau bekas-bekas pelepah kurma itu. Umar ra lalu memperhatikan kamar Nabi Saw. Terlihat tiga lembar kulit binatang yang sudah disamak dan sedikit gandum disudut kamar itu. Selain itu, tak ada apapun. Umar ra menangis melihat keadaan itu.
Rasulullah Saw bertanya ”Mengapa engkau menagis?
Umar ra menjawab. ”Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rasulullah. Aku baru saja melihat tanda bekas-bekas tikar di badanmu dan aku pun amat prihatin melihat keadaan kamarmu yang amat tidak layak ini. Orang-orang Romawi dan persia yang kafir saja, para raja mereka hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Adapun engkau adalah pesuruh Allah, tetapi engkau hidup miskin".
Rasulullah Saw bersabda: "Umar sepertinya engkau masih ragu. Dengarlah kenikmatan di akhirat tentu lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini.” (Al-Kandahlawi 2001:571)

Suatu hari, Hafshah ra salah seorang Istri Rasulullah, bertutur ‘Tikar tempat tidur beliau terbuat dari sehelai kain yang dilipat dua. Suatu hari, agar Nabi Saw lebih nyaman tidurnya, saya melipat kain itu menjadi empat. Keesokan harinya, beliau bertanya, "Apakah yang telah engkau hamparkan tadi malam sehingga terasa lebih empuk?"
Saya menjawab, "Kain yang sama, Ya Rasulullah. Hanya saja, saya melipatnya menjadi empat lipatan".
Beliau bersabda, "Lipatlah seperti semula (dua lipatan). Kenyamanan seperti tadi malam bisa menghalangi shalat tahajudku". (HR.At Tirmidzi)

Tentu amat berat bahkan mustahil bagi kita pada zaman kini untuk mengikuti jejak kebersahajaan dan kezuhudan Nabi Saw. Mendengar kisah inipun mungkin tak akan membuat perasaan kita tersentuh, terenyuh, apalagi menangis seperti Umar ra. Boleh jadi, itu karena amat jauhnya rentang jarak waktu kita dengan Nabi Saw. Namun, boleh jadi pula itu karena sangat jauhnya rentang ‘jarak keimanan‘ kita dengan Baginda Nabi Saw. Dengan kata lain, tidak seperti Baginda Nabi Saw kita lebih mencintai kesenangan dunia yang serba fana ini ketimbang kebahagiaan ukhrawi yang abadi. Wajar jika hidup kitapun tidak sebagaimana Baginda Nabi Saw. Baginda Nabi Saw, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekal kehidupan akhirat: memperbanyak amal-amal shaleh. Beliau selalu memperbanyak amal ibadah dengan melakukan banyak shaum sunnah, tak pernah putus menunaikan shalat malam, banyak bersedekah dan berinfak di jalan
Alloh. Beliaupun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah dan membina ummat.

Sebaliknya, banyak diantara kita yang bersikap sebaliknya, lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekal kehidupan dunia dan sedikit melakukan amal-amal shaleh. Sering kita hanya sedikit menjalankan shaum sunnah, sedikit menunaikan shalat malam dan sedikit bersedekah/ berinfak di jalan-Nya. Sebagian besar waktu kita pun lebih banyak dihabiskan untuk urusan dunia; sisanya baru urusan dakwah.

Padahal kitapun amat memahami, dunia ini fana, sedangkan akhirat itu kekal. Kitapun sadar, dunia ini tempat singgah sementara, sementara akhirat itu abadi. Namun sebagai manusia kita sering khilaf. Justru urusan-urusan dunialah yang sering menyibukkan kita. Bahkan menghabiskan sebagian besar waktu kita. Sementara untuk bekal kehidupan akhirat cukup sekedarnya saja.
Padahal saat ajal tiba, segala urusan dunia itu akan kita tinggalkan. Yang tersiasa hanyalah bekal untuk hidup setelah kematian. Itulah amal-amal shaleh. Itulah teman setia sekaligus yang akan menjadi pembela kita.

Wa ma taufiqi illa billah wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib.

Sumber: Arief B.Iskandar (Al-Wa’ie No.116 Tahun X)

BACA JUGA YANG INI:



3 komentar:

  1. hanya amal sholeh yang dapat mengikuti sampai ke liang lahad...

    BalasHapus
  2. bagus mas artikelnya..sukses slalu ya..jgn lupa jga komen balik di blogku ya

    BalasHapus
  3. salam ukhuwah wat semua.....

    BalasHapus