CHOOSE YOUR LANGUAGE:

CHOOSE YOUR LANGUAGE:

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 24 April 2014

CUT NYAK DHIEN WANITA TANGGUH DARI ACEH

Rakyat Sumedang memanggil Cut Nyak Dhien dengan nama Ibu Perbu karena kesalehannya dan sebagai tanda penghormatan. Hingga akhir hayatnya, beliau mengisi waktu dengan mengajarkan ilmu agama bagi masyarakat sekitar pengasinganya.

Cut Nyak Dhien lahir pada 1848 (tanggal dan bulan tidak diketahui) di Lampadang dari keluarga kalangan bangsawan yang taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang Uleebalang. Beliau mendapatkan pendidikan agama dan rumah tangga yang baik dari kedua orang tua dan para guru agama. Semua ini membentuk kepribadian beliau yang memiliki sifat tabah, teguh pendirian, dan tawakal.

Seperti umumnya di masa itu, beliau menikah di usia sangat muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, Teuku Ibrahim turut aktif di garis depan. Cut Nyak Dhien selalu memberikan dukungan dan dorongan semangat.

Semangat juang dan perlawanan Cut Nyak Dhien bertambah kuat saat Belanda membakar Masjid Besar Aceh. Dengan semangat menyala, beliau mengajak seluruh rakyat Aceh untuk terus berjuang. Saat Teuku Ibrahim gugur, di tengah kesedihan, beliau bertekad meneruskan perjuangan. Dua tahun setelah kematian suami pertamanya tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar. Seperti Teuku Ibrahim, Teuku Umar adalah pejuang kemerdekaan yang hebat.

Bersama Cut Nyak Dhien, perlawanan yang dipimpin Teuku Umar bertambah hebat. Sebagai pemimpin yang cerdik, Teuku Umar pernah mengecoh Belanda dengan pura-pura bekerja sama pada tahun 1893, sebelum kemudian kembali memeranginya dengan membawa lari senjata dan perlengkapan perang lain. Namun, dalam pertempuran di Meulaboh tanggal 11 Februari 1899 ,Teuku Umar gugur. Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dhien mengatur serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Seluruh barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk biaya perang. Meski tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut. Perlawanan yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu, bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya.

Namun, kehidupan yang berat dihutan dan usia yang menua membuat kesehatan perempuan pemberani ini mulal menurun. Ditambah lagi, jumlah pasukannya terus berkurang akibat serangan Belanda. Meski demikian, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah, beliau sangat marah. Akhirnya, Pang Laot Ali yang tak sampai hati melihat penderitaan Cut Nyak Dhien terpaksa berkhianat. la melaporkan persembunyian Cut Nyak Dhien dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dhien, bahkan ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap dalam kondisi rabun pun masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Beliau marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Namun,walau pun di dalam tawanan, Cut Nyak Dhien masih terus melakukan kontak dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga beliau akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906.

Cut Nyak Dhien yang tiba dalam kondisi lusuh dengan tangan tak lepas memegang tasbih ini tidak dikenal sebagian besar penduduk Sumedang. Beliau dititipkan kepada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, bersama dua tawanan lain, salah seorang bekas panglima perangnya yang berusia sekitar 50 tahun dan kemenakan beliau yang baru berusia 15 tahun. Belanda sama sekali tidak memberitahu siapa para tawanan itu. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Masjid Besar Sumedang. Perilaku beliau yang taat beragama dan menolak semua pemberian Belanda menimbulkan rasa hormat dan simpati banyak orang yang kemudian datang mengunjungi membawakan pakaian atau makanan. Cut Nyak Dhien, perempuan pejuang pemberani ini meninggal pada 6 November 1908.

Beliau dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh dan pusat kota. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa beliau, bahkan hingga Indonesia merdeka. Makam beliau dapat dikenali setelah dilakukan penelitian berdasarkan data dari pemerintah Belanda.

Cut Nyak Dhien diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui SK Presiden: Keppres No.106 Tahun 1964, Tgl. 2 Mei 1964.

BACA JUGA YANG INI:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar