Rakyat Sumedang memanggil Cut Nyak Dhien
dengan nama Ibu Perbu karena kesalehannya dan sebagai tanda
penghormatan. Hingga akhir hayatnya, beliau mengisi waktu dengan
mengajarkan ilmu agama bagi masyarakat sekitar pengasinganya.
Cut Nyak Dhien
lahir pada 1848 (tanggal dan bulan tidak diketahui) di Lampadang dari keluarga kalangan bangsawan yang taat beragama.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang Uleebalang. Beliau
mendapatkan pendidikan agama dan rumah tangga yang baik dari kedua orang
tua dan para guru agama. Semua ini membentuk kepribadian beliau yang
memiliki sifat tabah, teguh pendirian, dan tawakal.
Seperti umumnya di masa itu, beliau
menikah di usia sangat muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus tahun
1873, Teuku Ibrahim turut aktif di garis depan. Cut Nyak Dhien selalu
memberikan dukungan dan dorongan semangat.
Semangat juang dan perlawanan Cut Nyak Dhien bertambah kuat saat Belanda membakar Masjid Besar Aceh. Dengan semangat
menyala, beliau mengajak seluruh rakyat Aceh untuk terus berjuang. Saat
Teuku Ibrahim gugur, di tengah kesedihan, beliau bertekad meneruskan
perjuangan. Dua tahun setelah kematian suami pertamanya tepatnya pada
tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar. Seperti Teuku
Ibrahim, Teuku Umar adalah pejuang kemerdekaan yang hebat.
Bersama Cut Nyak Dhien, perlawanan yang
dipimpin Teuku Umar bertambah hebat. Sebagai pemimpin yang cerdik, Teuku
Umar pernah mengecoh Belanda dengan pura-pura bekerja sama pada tahun
1893, sebelum kemudian kembali memeranginya dengan membawa lari senjata
dan perlengkapan perang lain. Namun, dalam pertempuran di Meulaboh
tanggal 11 Februari 1899 ,Teuku Umar gugur. Sejak meninggalnya Teuku
Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dhien mengatur serangan besar-besaran
terhadap beberapa kedudukan Belanda. Seluruh barang berharga yang masih
dimilikinya dikorbankan untuk biaya perang. Meski tanpa dukungan dari
seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut. Perlawanan yang
dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu,
bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh sehingga pasukan
Belanda selalu berusaha menangkapnya.
Namun, kehidupan yang berat dihutan dan
usia yang menua membuat kesehatan perempuan pemberani ini mulal menurun.
Ditambah lagi, jumlah pasukannya terus berkurang akibat serangan
Belanda. Meski demikian, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus
panglimanya, menawarkan untuk menyerah, beliau sangat marah. Akhirnya,
Pang Laot Ali yang tak sampai hati melihat penderitaan Cut Nyak Dhien
terpaksa berkhianat. la melaporkan persembunyian Cut Nyak Dhien dengan
beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus
menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dhien,
bahkan ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap dalam kondisi rabun
pun masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap
tangannya. Beliau marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Namun,walau pun
di dalam tawanan, Cut Nyak Dhien masih terus melakukan kontak dengan para
pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak
Belanda berang sehingga beliau akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat,
pada 11 Desember 1906.
Cut Nyak Dhien yang tiba dalam kondisi
lusuh dengan tangan tak lepas memegang tasbih ini tidak dikenal sebagian
besar penduduk Sumedang. Beliau dititipkan kepada Bupati Sumedang,
Pangeran Aria Suriaatmaja, bersama dua tawanan lain, salah seorang bekas
panglima perangnya yang berusia sekitar 50 tahun dan kemenakan beliau
yang baru berusia 15 tahun. Belanda sama sekali tidak memberitahu siapa
para tawanan itu. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu,
Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas,
seorang tokoh agama, di belakang Masjid Besar Sumedang. Perilaku beliau
yang taat beragama dan menolak semua pemberian Belanda menimbulkan rasa
hormat dan simpati banyak orang yang kemudian datang mengunjungi
membawakan pakaian atau makanan. Cut Nyak Dhien, perempuan pejuang
pemberani ini meninggal pada 6 November 1908.
Beliau dimakamkan secara hormat di
Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh
dan pusat kota. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa
beliau, bahkan hingga Indonesia merdeka. Makam beliau dapat dikenali
setelah dilakukan penelitian berdasarkan data dari pemerintah Belanda.
Cut Nyak Dhien diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui SK Presiden: Keppres No.106 Tahun 1964, Tgl. 2 Mei 1964.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar