CHOOSE YOUR LANGUAGE:

CHOOSE YOUR LANGUAGE:

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 01 Februari 2014

HARLAH NU KE 88, NU DAHULU DAN SEKARANG

NU genap berusia 88 tahun (kalender masehi). NU adalah sebuah organisasi besar, didirikan oleh orang-orang besar, dengan visi besar dan jiwa besar. Sekarangpun orang-orang seperti itu juga masih banyak, hanya saja mereka lebih banyak berada di wilayah NU kultural. Hanya sedikit yang mau masuk ke arena NU struktural karena panggilan tugas yang tidak mungkin dihindari seperti halnya KH Sahal Mahfudz (alm) dan KH Hasyim Muzadi.

Saat ini NU menjadi semrawut karena dimanfaatkan orang-orang yang tidak jelas, mengaku-ngaku NU tapi sama sekali tidak mengetahui tentang NU. Ormas Islam terbesar ini hanya dijadikan alat berlindung mereka.

Dibalik segala carut marut yang terjadi di tubuh organisasi NU, kami masih menyimpan sejuta kebanggaan sebagai salah satu anak yang dilahirkan dari rahim NU. Dan hal itu kami tunjukkan secara ekspresif, bahkan di forum-forum internal ikhwah.

Pertama, guru yang bijak
Beliau benar-benar memiliki toleransi yang tinggi. Meski menjadi Rais Syuriyah NU, namun beliau tidak mewajibkan seluruh santrinya untuk menjadi orang NU. Meski menganut thoriqoh, namun beliau tidak mewajibkan seluruh santrinya untuk mengikuti jejaknya. Beliau juga sangat dekat dan akrab dengan KH Ahmad Dahlan, karena sama-sama sebagai santrinya Kyai Saleh Darat Semarang dan Syaikh Khatib Al Minangkabawi di Makkah. Dan, daftarnya masih banyak…

Hal ini mengingatkan kita dengan Imam Malik bin Anas, gurunya imam Syafi’i. Beliau kan mengarang kitab Al Muwaththa’. Kitabnya menjadi rujukan standar bagi para ulama salaf maupun khalaf saat mereka mulai belajar islam (mondok), mulai dari Imam Syafi’i, Imam Nawawi sampai seorang Ibnu Hazm (mahzhab dhahiri) sekalipun. Namun, ia menolak saat kitabnya akan dijadikan standar yang dilegitimasi melalui kekuatan negara. Bahkan ia menolak tawaran dari Harun Al Rasyid yang meminta Al Muwaththa di gantung di Ka’bah (demi menyatukan ilmu umat islam). “Sesungguhnya para shahabat telah banyak berselisih dalam masalah cabang (fiqih), mereka telah tersebar di banyak negara dan masing-masing telah berfatwa kepada kaumnya” jawabnya. Padahal, Kitab Al Muwaththa’ adalah kitab paling shahih dimasanya.

Saat ini, banyak kalangan NU mewajibnya kaumnya untuk “melakukan ini dan itu” atau “mencoblos itu”. Bahkan memusuhi saudara Muslim sendiri hanya karena beda ormas. Lama-lama semakin ‘ashobiyah aja. Hm,.. entah mengapa kami jadi rindu dengan “Sang Kyai”.

Kedua, ilmu yang shahih
Ilmunya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari benar-benar shahih. Selepas nyantri ke Syaikh Khalil Bangkalan dan Kyai Saleh Darat Semarang, beliau melanjutkan petualangannya nyantri sampai ke Makkah. Diantaranya ke Syaikh Mahfuzh At Turmusi sampai diijazahi untuk mengajarkan kitab Shahih Bukhari. Beliau seorang ahli hadits terkemuka. Santri yang mondok ke Tebu Ireng, karena ingin belajar hadits. Hadits yang shahih, bukan yang dhaif apalagi mursal.

Beliau juga nyantri ke Syaikh Khatib Al Minangkabawi. Harap diingat, Syaikh Khatib Al Mingkabawi adalah salah satu ulama nusantara yang pernah menjadi Imam di Masjidil Haram. Dulu, imam Masjidil Haram bisa siapa saja dan dari mana saja, pokoknya yang paling faqih dimasanya. Sekarang oleh pemerintah Arab Saudi, Imam Masjidil Haram dipatok harus berasal dari orang Arab.

Karena ilmunya shahih, maka Syaikh Hasyim Asy’ari juga berani meluruskan banyak hal dari praktek thariqah yang menyimpang. Kita jadi ingat dengan Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziah, santrinya Imam Ibnu Taimiyah. Meski beliau juga mengikuti thariqah, tapi tetap kritis meluruskan pelurusan terhadap praktek yang menyimpang. Kita bisa membacanya dalam kitab Madarijus Salikin.

Bandingkan dengan mereka para oknum yang mengaku dari NU saat ini. Mereka mendukung Ahmadiyah, bahkan Syiah yang jelas-jelas menyatakan perang dengan Ahlus sunnah.

Ketiga, pejuang sejati
Beliau ini meneruskan semangat dan perjuangannya Imam Bonjol yang memimpin perang Paderi di Sumatra. Meskipun tidak tampil seheroik Imam Bonjol yang langsung terjun di medan juang, tapi fatwa jihad yang disampaikan mampu menggerakkan arek-arek Surabaya untuk maju ke medan laga. Mungkin karena faktor usia dan fisiknya. Yap, tiap-tiap orang ada medan jihadnya sendiri. Dan medan jihad yang paling menonjol dari “Sang Kyai” adalah jihad ma’rifah, tanpa menafikan kontribusinya dibidang yang lain.

Namanya juga ulama rabbani, maka dia tidak tunduk dengan tekanan maupun iming-iming. Karena dipundaknya ada tugas besar sebagai penyambung lidah rasulullah. Al ‘Ulama’u Warasatul Anbiya.

Sungguh rindu dengan NU sejati, bukan NU abal-abal yang cuma mengaku-ngaku NU dan membawa nama besar NU untuk mengadu domba ummat Islam.

Spesial buat saudaraku yang sudah gak aktif lagi di IPNU dan GP Ansor. Semoga di perantauan bisa kembali aktif. Salam buat saudara-saudara di Bandung.

BACA JUGA YANG INI:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar