CHOOSE YOUR LANGUAGE:

CHOOSE YOUR LANGUAGE:

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 19 Februari 2013

PKS MEMBUAT GALAU IBU-IBU MAJELIS TAKLIM

Sebenarnya banyak pilihan judul. Pilihanku pada judul ini untuk menarik perhatian karena ada PKS nya. Sebenarnya ini hanya tulisan untuk berbagi. Menyemangati diri dan teman-temanku, sesama anggota Majelis Taklim Tanpa Nama. Betul-betul tanpa nama. Bukan karena tidak bisa memilih nama tetapi memang kami merasa nama itu tidak terlalu penting. Apalah artinya 10-20 orang di sebuah perumahan di pelosok Jawa Timur, yang letaknya puluhan kilometer dari Surabaya. Dibandingkan Majelisnya para habib, ustadz besar dan tokoh besar, kami tidak terhitung sebagai Majelis Taklim. Namun kami tetap merasa sangat penting bukan karena ada tokoh atau ustadz terkenal. Kami merasa keberadaan Majelis Taklim disebabkan kami bisa merenda hari-hari kami dengan bertambahnya ilmu dan amalan Islam. Kami merasa Majelis kami adalah majelis yang paling berharga bagi kami walaupun kami tidak bisa mengundang tokoh,  tapi selalu ada yang mau datang untuk memberi kesejukan. Mengajarkan Islam dan keindahannya. Sampai datang satu peristiwa: PKS kesruduk sapi !

“Bu Nia, taklim kita bagaimana? Apakah akan bubar?” kata seorang ibu. Sayapun sempat terpikir begitu, ketika banyak pengamat dikoran dan TV yang mengatakan: PKS akan hancur. PKS akan bubar. PKS tinggal sejarah. Pertanyaan itu sangat wajar. Kerisauan kami pun beralasan. Majelis Taklim kami memang banyak ditopang kader-kader PKS. Hampir semua yang mengisi taklim kami adalah kader-kader PKS. Kalau PKS bubar, ustadzahnya tidak mau datang lagi apa Majelis Taklim tidak bubar? Memang hari gini masih ada ustadzah yang masih mau sabar ngasih taklim kepada kami-kami?

Memang saat itu sempat terpikir waktu kami berunding dengan ibu-ibu peserta majelis taklim. Apa sebaiknya kita gabung dengan ibu-ibu majelis taklim yang lain? Tapi pikiran itu ditolak oleh ibu-ibu yang lain karena dua sebab. Pertama karena sudah cocok dengan cara penyampaian ustadzahnya yang ringkas, mengena dan praktis. Kedua tempatnya lebih jauh tentu saja masalah datangnya dengan cara apa menjadi masalah utama. 

Masalahnya, kalau PKS bubar terus bagaimana nasib kami? ditengah kegalauan kami ada usulan untuk telepon ustadzah yang biasa mengisi majelis taklim. Oh, kenapa ide ini tidak kemarin-kemarin keluar? Ketika kami menelepon ustadzah M tentang kelanjutan Majelis Taklim Tanpa Nama kami maka jawaban ustadzah memberi jawaban yang sangat melegakan. Ternyata kami tidak jadi bubar! Alhamdulillah…. Serempak keluar dari mulut kami mendengar jawaban lewat telepon.

Ustadzah M, yang biasa ngisi taklim masih muda, mungkin usianya lebih muda dari kami tapi pemahaman Islam jauh diatas kami. Ketika beliau sudah hadir dalam acara taklim sore itu, ibu-ibu mengusulkan agar kali ini diisi dengan tanya jawab karena banyak pertanyaan yang akan ditanyakan. Ustadzah dengan sabar melayani kami. Beberapa pertanyaan sempat kami lontarkan, diantaranya tentang kelanjutan taklim kami. Kami ingin mendengar penjelasan panjang yang mungkin akan terlewat jika lewat telepon. Beliau justru menjawab sambil tersenyum: Justru tidak ada alasan. Lho, kenapa memangnya? Ketika kita belajar Islam dan berusaha memahami dengan baik, berusaha mengamalkan apa yang kita tahu. 
Ketika kita meneruskan usaha kita tentu tidak perlu ditanyakan mengapa meneruskan? Justru yang berhenti itu yang perlu ditanya, mengapa berhenti? Subhanallah. Alasan yang sangat masuk akal.

Ketika ada yang melontarkan pertanyaan tentang mengapa berdakwah melalui partai? Seandainya tidak berpolitik bukannya majelis taklim dan dakwah lebih tenang? Beliau menjawab: Betul. Kalau berkiprah melalui politik tentu saja ada tantangan dan persaingan. Tanpa berpolitik tidak ada yang terancam keberadaannya tetapi dengan melalui politik akan banyak yang merasa terancam keberadaannya, keburukan yang dulu mereka bisa lakukan dengan bebas, sekarang tidak lagi bisa dilakukan. Atau minimal berkurang. 

Ketika pertanyaan dilanjutkan, kalau berdakwah melalui PKS mengapa tidak pernah meminta kami mencoblos PKS? Ustadzah tersenyum lebar kemudian menjawab: memperjuangkan Islam itu perlu kesiapan mental. Sekarang, dalam majelis taklim ini kita sedang mempersiapkan diri. Mempersiapkan keislaman kita, baik pemahaman maupun amaliyahnya. Jika diri kita siap untuk berjuang maka titik itu merupakan awal perjalanan yang sangat panjang. Jika kita sudah melalui perjalanan itu maka kesulitan akan sering mendera kita. Jika kita siap, maka kita bisa memulai bahkan sekarang juga. Soal pilihan politik mau memilih PKS atau yang lain, itu merupakan hak sepenuhnya ibu-ibu. Seperti mau mengamalkan Islam secara sungguh-sungguh atau tidak. Atau seperti memilih suami. Tentu saja sebagai kader PKS saya sangat berharap ibu-ibu memilih PKS, tetapi hal itu perlu disampaikan secara hati-hati jangan sampai ibu-ibu merasa dipaksa atau sungkan. Memilih parpol harus dengan pengetahuan dan keyakinan. Karena setiap pilihan termasuk pilihan parpol ada konsekuensi pertanggungjawaban dihadapan Alloh. Ibu-ibu bisa melakukan pilihan dengan suatu tindakan apa yang diambil jika punya pengetahuan yang cukup tentangnya.

Pertanyaan yang menurut saya paling panas dan mungkin menyinggung ustadzah adalah tentang PKS kesruduk sapi. Bagaimana tanggapannya? Masih dengan tersenyum dan dengan wajahnya yang ikhlas beliau memberi penjelasan dan mengulangi pernyataannya bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Jangankan kesruduk sapi, seandainya diinjak gajah kami juga tetap tidak bergeser. Subhanallah, sampai ibu-ibu mbrebes mili. Beliau meneruskan: Ibu-ibu sekalian sudah mengenal saya sejak lama, soal ibu percaya kepada kami atau tidak bagi kami bukanlah masalah besar. Hanya harapan saya, ibu-ibu tetap istiqomah untuk belajar Islam dan mengamalkannya. Itu sudah sangat membahagiakan saya.  

Tangis kami pecah. Kami sudah mengenal beliau dan teman-temannya dari PKS begitu gigih luar biasa dalam setiap kegiatan pengajian, sosial dan kegiatan-kegiatan yang sangat bermanfaat bagi kami. Sampai ada seorang seorang ibu yang agak histeris mengatakan: "Demi Alloh, saya menjadi saksi atas ustadzah dan teman-taman ustadzah. Kalau ustazah berani mengambil resiko dalam perjuangan, kami tentu tetap mendukung dan menyertainya. Kami sudah mendapat banyak kenikmatan Alloh berupa pemahaman Islam. Kami sudah lebih paham untuk apa Alloh menciptakan kami. Apakah hanya karena kata pengamat saja kami jadi berbalik arah? Mereka hanya bisa ngomong, memang omongan mereka layak untuk ditampilkan karena layak dijual. Tapi mereka tidak merasakan apa yang kami rasakan. Mereka tidak pernah mengalami apa yang kami alami. Kami sering bertemu dan mengetahui apa saja yang ustadzah dan teman-teman ustadzah lakukan. Apakah kami orang-orang yang tidak bisa berpikir kalau hanya karena omongan diluar yang tidak jelas mempengaruhi kami".

Keharuan menyelimuti suasana. Tangis dan airmata tidak bisa dibendung lagi. Acara taklim berubah menjadi acara tangis-tangisan. 

Dengan mengusap buliran airmata yang menetes, ustadzah pun meneruskan: "Terimakasih atas kepercayaan ibu-ibu semua. Insya Alloh kepercayaan ibu-ibu akan kami pegang erat-erat".
Dengan rasa haru yang tidak terbendung salah seorang ibu mengatakan: "Walaupun kami bukan kader dan bukan apa-apa bagi PKS tapi tetap percaya dengan PKS. Insya Alloh kami akan lebih rajin beribadah dan lebih rajin untuk belajar Islam. Dan mulai pemilu akan datang kami semua akan mencoblos PKS".

Kami semua yang hadir tersenyum-senyum. Sedangkan ustadzah tersenyum sambil mengucapkan: "Alhamdulillah, semoga Alloh memberkahi janji ibu. Keinginan yang kuat untuk belajar dan mengamalkan Islam jika disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh pasti akan ditolong oleh Alloh SWT". 

Tumpas habislah kegalauan kami, dan berubah menjadi semangat yang menyala-nyala. Kami yakin Islam adalah harapan terakhir kami. 



Kurniawati Sazali
www.kompasiana.com
Seorang Ibu rumah tangga biasa, semangat dengan majelis taklim


... ... ... Ditempat lain ??? ... ... ...

BACA JUGA YANG INI:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar