Kata “Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang. Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut Alloh memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hamba-Nya, yaitu bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thawaf, dan penyembelihan daging kurban, dan lain sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitrah (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithrah” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.
Dari Abu Hurairah berkata:
Pensyariatan ‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki oleh kaum muslimin, hanya ada dua, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah hari raya yang lain? Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya merupakan hak khusus Alloh ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Alloh menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (’Ied). Namun, jika tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan merayakan atau memperingati hari tersebut. Alasannya adalah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh (Al Qur’an) maupun Rasul-Nya (Al Hadits). Sehingga tidak benar, apa yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin saat ini, dengan melakukan berbagai macam peringatan/perayaan yang sama sekali tidak ada tuntunannya.
Tuntunan Nabi Saat Hari Raya
Perayaan ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Alloh. Dan ibadah tidak terlepas dari dua hal, yang semestinya harus ada, yaitu:
(1) Ikhlas ditujukan hanya untuk Alloh SWT semata dan
(2) Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Ada beberapa hal yang dituntunkan Rasulullah Saw terkait dengan pelaksanaan hari raya, di antaranya:
Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan sebelum shalat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya shalat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rasulullah mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Berikut kami ringkaskan hal-hal yang terkait dengan shalat ‘Ied, di antaranya:
Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata,
Waktu shalat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Thalib).
Hal ini berlandaskan hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
Adzan dan iqomah pada shalat ‘Ied: Tidak ada adzan dan iqomah, atau seruan apapun sebelum dilaksanakan shalat karena tidak adanya dalil untuk hal tersebut.
Khutbah pada shalat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat.
Qodho’ shalat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.
Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri
Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rasulullah Saw bersabda,
Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa keperluan yang dibenarkan syariat agama. Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh berfirman,
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rasulullah Saw,
Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied. Tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur memang termasuk ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk ziarah saat ‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan.
Begadang saat malam ‘Iedul Fitri. Banyak di antara kaum muslimin yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini sangat mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat. Hukum mengganggu orang lain adalah haram. Rasulullah Saw bersabda,
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga Alloh memberikan balasan yang baik bagi yang menulis, membaca, dan yang menyebarkannya.
Diringkas dari tulisan Adid Adep Dwiatmoko
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitrah (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithrah” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.
Dari Abu Hurairah berkata:
“Bahwasanya Nabi Saw bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’”
(HR. Tirmidzi dan Abu dawud, shahih)
(HR. Tirmidzi dan Abu dawud, shahih)
(Majalah As Sunnah 05/I, Ustadz Abdul Hakim). Oleh karena itu, makna yang tepat dari “Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).
Pensyariatan ‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki oleh kaum muslimin, hanya ada dua, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah hari raya yang lain? Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya merupakan hak khusus Alloh ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Alloh menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (’Ied). Namun, jika tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan merayakan atau memperingati hari tersebut. Alasannya adalah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
“Rasulullah Saw datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (’Iedul Adha) dan hari fitri (’Iedul Fitri).”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud, shahih)
(HR. Ahmad dan Abu Dawud, shahih)
Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh (Al Qur’an) maupun Rasul-Nya (Al Hadits). Sehingga tidak benar, apa yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin saat ini, dengan melakukan berbagai macam peringatan/perayaan yang sama sekali tidak ada tuntunannya.
Tuntunan Nabi Saat Hari Raya
Perayaan ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Alloh. Dan ibadah tidak terlepas dari dua hal, yang semestinya harus ada, yaitu:
(1) Ikhlas ditujukan hanya untuk Alloh SWT semata dan
(2) Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Ada beberapa hal yang dituntunkan Rasulullah Saw terkait dengan pelaksanaan hari raya, di antaranya:
- Mandi Sebelum ‘Ied: Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya karena hari itu adalah tempat berkumpulnya manusia untuk shalat. Namun, apabila hanya berwudhu saja, itu pun sah. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdullah At Thoyyar – edisi Indonesia). Dari Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat ‘Iedul fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk sholat (HR. Malik, sanadnya shahih). Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib,
“Hal-hal yang disunnahkan saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan menuju tanah lapang, makan sebelum shalat ‘Ied, dan mandi.” (Diriwayatkan oleh Al Firyabi dengan sanad shahih, Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
- Makan di Hari Raya: Disunnahkan makan saat ‘Iedul Fitri sebelum melaksanakan shalat dan tidak makan saat ‘Iedul Adha sampai kembali dari shalat dan makan dari daging sembelihan kurbannya. Hal ini berdasarkan hadits dari Buraidah, bahwa beliau berkata:
“Rasulullah dahulu tidak keluar (berangkat) pada saat Iedul Fitri sampai beliau makan dan pada Iedul Adha tidak makan sampai beliau kembali, lalu beliau makan dari sembelihan kurbannya.”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, sanadnya hasan).
“Dari Anas radhiyallahu’anhu, ia berkata: Nabi Saw tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari)
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, sanadnya hasan).
“Dari Anas radhiyallahu’anhu, ia berkata: Nabi Saw tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari)
Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan sebelum shalat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya shalat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rasulullah mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
- Memperindah (berhias) Diri pada Hari Raya: Dalam suatu hadits, dijelaskan bahwa Umar pernah menawarkan jubah sutra kepada Rasulullah Saw dipakai untuk berhias dengan baju tersebut di hari raya dan untuk menemui utusan. (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah Saw tidak mengingkari apa yang ada dalam persepsi Umar, yaitu bahwa saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini menunjukkan tentang sunnahnya hal tersebut. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Perlu diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang melanggar yang diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, emas bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.
- Berbeda Jalan antara Pergi ke Tanah Lapang dan Pulang darinya: Disunnahkan mengambil jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang, berdasarkan hadits dari Jabir, beliau berkata,
“Rasulullah membedakan jalan (saat berangkat dan pulang) saat iedul fitri.”
(HR. Al Bukhari).
(HR. Al Bukhari).
Hikmahnya sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada orang yang ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Disunnahkan pula bertakbir saat berjalan menuju tanah lapang,
karena sesungguhnya Nabi apabila berangkat saat Iedul Fitri, beliau bertakbir hingga ke tanah lapang, dan sampai dilaksanakan shalat, jika telah selesai shalat, beliau berhenti bertakbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih).
- Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala ‘Iedul Fitri dengan “taqabbalallaahu minnaa wa minkum” (Semoga Alloh menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan “a’aadahullaahu ‘alainaa wa ‘alaika bil khairaat war rahmah” (Semoga Alloh membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat) sebagaimana diriwayatkan dari beberapa sahabat. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdullah At Thoyyar – edisi Indonesia).
Berikut kami ringkaskan hal-hal yang terkait dengan shalat ‘Ied, di antaranya:
Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata,
“Aku ikut melaksanakan shalat ‘Ied bersama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan shalat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum shalat ‘Ied: Fardhu ‘Ain, menurut pendapat terkuat. Namun ada juga yang mengatakan sunnah (Lihat Fathul Bari 8/423-424, karya Ibnu Rajab rahimahullah).
Waktu shalat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Thalib).
Hal ini berlandaskan hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Dahulu Rasulullah Saw selalu keluar menuju mushalla (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha…” (HR. Al-Bukhari no. 956)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
“Sunnah Nabi Saw dengan hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua shalat Ied di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (umat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur atau dalam keadaan darurat, seperti hujan dan sejenisnya. Inilah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para imam.” (Lihat Shalatul ‘Idaini fil Mushalla Hiyas Sunnah, hal. 35).
Tata cara shalat ‘Ied: Dua raka’at berjama’ah, dengan tujuh takbir di raka’at pertama (selain takbiratul ihram) dan lima takbir di raka’at kedua (selain takbir intiqal -takbir berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain).
Adzan dan iqomah pada shalat ‘Ied: Tidak ada adzan dan iqomah, atau seruan apapun sebelum dilaksanakan shalat karena tidak adanya dalil untuk hal tersebut.
Khutbah pada shalat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat.
Qodho’ shalat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.
Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri
Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan)
dan sabda Nabi yang lain,
“Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khamr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Al Bukhari secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shahih dan bersambung sesuai syarat shahih). Dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).
dan sabda Nabi yang lain,
“Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khamr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Al Bukhari secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shahih dan bersambung sesuai syarat shahih). Dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).
Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa keperluan yang dibenarkan syariat agama. Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh berfirman,
“Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab: 33).
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi:
“….salah satu di antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rasulullah Saw,
“Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (lihat Silsilah Al Ahadits As Shohihah 226) (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied. Tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur memang termasuk ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk ziarah saat ‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan.
Begadang saat malam ‘Iedul Fitri. Banyak di antara kaum muslimin yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini sangat mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat. Hukum mengganggu orang lain adalah haram. Rasulullah Saw bersabda,
“Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim).
Sehingga jika memang hendak bertakbir, hendaknya tidak dengan suara yang keras. Ada lagi di antara kaum muslimin yang menjadikan malam ‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu atau sekedar ngobrol tanpa tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan dari mereka sulit menjalankan shalat subuh secara berjamaah. Bahkan ada yang sampai ogah-ogahan menjalankan shalat ‘Ied.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga Alloh memberikan balasan yang baik bagi yang menulis, membaca, dan yang menyebarkannya.
Diringkas dari tulisan Adid Adep Dwiatmoko
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar