Paling tidak ada 2 kejadian beruntun yang 'mengarah' langsung atau tidak langsung kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS); Pertama, kasus Yusuf Supendi, pendiri Partai Keadilan (PK) –awal mula PKS- yang memperkarakan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ke Badan Kehormatan DPR RI. Selain itu, Yusuf –yang telah dipecat sejak tahun 2009 dari PKS karena alasan indisipliner ini- juga membuka beberapa tuduhan mengenai keterlibatan Sekjen PKS Anis Matta dalam penggelapan uang serta sikap Yusuf yang menolak PKS menjadi partai terbuka.
Kedua, dan ini yang menghebohkan, adalah kasus Arifinto, anggota DPR RI dari PKS yang tertangkap kamera diduga sedang menonton video porno pada saat berlangsungnya sidang paripurna.
Tulisan ini mencoba melakukan analisa –berdasarkan kasus-kasus tersebut- mengenai risiko yang ditempuh sebuah gerakan ketika mereka memutuskan untuk masuk ke dalam lingkaran 'politik praktis'.
Dari pengalaman di Indonesia misalnya, beberapa gerakan Islam gagal menghadapi tantangan politik. Beberapa partai Islam kalah dalam proses politik yang fair dan elegan, tetapi –dan ini yang jarang diulas- partai Islam seringkali kalah, bukan karena tidak mampu mendulang suara, tapi gagal menghindar dari fitnah lawan politik yang berujung pada 'pembredelan' partai tersebut oleh penguasa, baik langsung maupun tidak langsung. Masyumi di era Orde Lama dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di awal era Orde Baru menjadi bukti gagalnya gerakan Islam menghadapi cobaan demokrasi. Bagaimana dengan PKS?
Cobaan Demokrasi
Demokrasi adalah pasar bebas politik. Semua ide dan gagasan ditawarkan di sini, dalam berbagai bentuknya. Pembelinya adalah rakyat. Rakyat yang akan menilai gagasan apa yang layak dibeli, dan gagasan mana yang sebaiknya dibuang. Maka tugas partai adalah mengemas gagasan itu dengan bentuk terbaik, sehingga tampak menarik untuk dijual dan ada kemungkinan untuk 'laku' di pasaran politik.
Dalam tataran ideal, demokrasi yang tak ubahnya seperti pasar ini justru menjadi masalah, karena menjadi absurdnya kebenaran dalam politik. Hal ini paling tidak didasari oleh beberapa hal;
Pertama, kebenaran, seringkali kemudian menjadi domain partai atau koalisi partai mayoritas. Inilah kebenaran politik, yang belum tentu merupakan kebenaran hukum, dan apalagi kebenaran agama. Demokrasi, dalam istilah lainnya, kemudian menjelma menjadi peraturan tentang kemenangan 51 persen atas 49 persen, sesuatu yang oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai 'tirani mayoritas'.
Kedua, gagasan tentang apa itu 'kebenaran dalam politik' berbeda antara satu partai dengan partai lain. Persamaannya, adalah semua partai meyakini bahwa untuk membuktikan sejauh mana kebenaran gagasan mereka, yang harus dilakukan rakyat adalah memilih mereka untuk berkuasa di lembaga negara. Gagasan kebenaran politik dalam bentuk 'ideologi partai' ini kemudian menjadi semacam karakter yang membedakan antara satu partai, dengan partai lainnya.
Ketiga, Dengan analogi pasar bebas dan kebenaran yang absurd, maka persaingan menjadi sedemkian bebas. Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa konotasi term 'politik' menjadi bernilai 'negatif'. Tak lain karena, demokrasi hampir-hampir memberi jalan bagi partai politik untuk merebut kekuasaan dengan segala cara. Toh, benar salahnya cara yang ditempuh, akan masuk dalam perdebatan politik, bukan justifikasi hukum. Inilah cobaan demokrasi, yang segera kemudian menjadi mekanisme seleksi alamiah; yang mampu beradaptasi akan terus bertahan. Yang gagal, segera masuk kotak.
Reformasi 1998 membawa Indonesia untuk 'belajar kembali' tentang demokrasi, setelah pernah diaplikasikan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Dalam kondisi inilah, PKS muncul (sebelumnya PK) dengan menawarkan gagasan Islam sebagai landasan ideologi. Diisi dominan oleh orang-orang dengan latar belakang aktivis Islam kampus, idealisme dan ide Islam Politik kemudian menjadi 'dagangan' PKS dalam menjual gagasannya kepada rakyat.
Namun, lazimnya partai lain yang terus eksis, PKS pun tidak lepas dari cobaan demokrasi. Cobaan yang dihadapi adalah bagaimana mengejawantahkan ideologi partai dalam tindakan nyata di ruang publik. Dengan kata lain, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana 'kebenaran politik versi PKS' menjadi 'kebenaran politik' yang diyakini juga oleh masyarakat. Hal ini nampaknya menghadapi beberapa kendala tertentu;
Pertama, adalah upaya PKS untuk memperluas basis pemilih (kader dan simpatisan). Selama ini PKS dianggap masih berada di 'kanan' dengan basis agama yang kuat, dan belum mampu bergeser ke 'tengah' untuk menggaet masa Nasionalis. Pilihan strategi yang diambil pun tidak main-main; menjadi partai terbuka. Pilihan cerdas sekaligus kontroversial; di satu sisi PKS harus mampu mengemas gagasan ideologi mereka sedemikian rupa untuk meraih simpati massa kelompok nasionalis, di sisi lain PKS juga harus menjelaskan pilihan untuk 'terbuka' ini pada kader dan simpatisan mereka yang kebanyakan adalah kelompok Islam loyalis. Pada titik inilah soliditas PKS sebagai partai kader diuji.
Kedua, adalah cobaan demokrasi bernama kekuasaan. Dalam hitung-hitungan koalisi, praktis PKS adalah partai yang menempati pos menteri terbanyak setelah Partai Demokrat, sebanyak 4 menteri. Tentu saja ini berkah sekaligus cobaan. Dari sisi internal, kader PKS harus mampu untuk 'menahan diri' terhadap godaan kuasa yang biasanya mendatangkan harta. Jabatan politik, seharusnya berdampak strategis bagi konstituen PKS secara keseluruhan, bukan lahan pembagian jabatan dan proyek-proyek besar. Secara internal, godaan-godaan 'dunia' ini harus diantisipasi oleh kader-kader PKS.
Ketiga, adalah cobaan demokrasi berwujud koalisi. Sebagai partai pendukung pemerintahan, PKS dihadapkan pada dilema dalam menentukan sikap. Di satu sisi, PKS mempunyai idealisme tersendiri berdasarkan platform ideologi yang menjadi dasar gerakan, namun di sisi lain PKS –sebagai mitra koalisi- dihadapkan pada tuntutan untuk mendukung kebijakan pemerintah. Dua hal ini seringkali tidak seiring sejalan. Namun, patut diapresiasi ketika dalam beberapa kasus, PKS konsisten dalam mempertahankan sikapnya 'berbeda jalan' dengan pemerintah.
Badai Pasti Berlalu?
Dalam bukunya Dari Gerakan ke Negara, Sekjen PKS Anis Matta sudah memberikan 'early warning' terhadap pilihan gerakan tarbiyah –cikal bakal PKS- untuk masuk dan terlibat dalam demokrasi. Dalam buku tersebut, Anis mewanti-wanti kader PKS untuk siap menghadapi era demokrasi dan keterbukaan, di mana 'kebenaran dan kebathilan sama-sama bersaing untuk meraih simpati masyarakat'. Maka di era persaingan politik ini menurut Anis, yang harus dilakukan kader PKS adalah 'membuktikan bahwa yang benar di mata Islam adalah benar juga di depan hukum, dan apa yang salah menurut Islam adalah juga salah menurut hukum yang berlaku'.
Seperti jamaknya ajaran agama, bahwa siapa mampu menghadapi cobaan, maka sesungguhnya Tuhan sedang mengujinya untuk membuat ia tangguh. Tapi, barangsiapa gagal menghadapi cobaan -sesuai kadarnya- maka sesungguhnya ia telah gagal mencapai derajat keimanan. Analogi ini tepat untuk PKS. Pilihannya sederhana; jika sukses menghadapi 'cobaan demokrasi' ini, maka PKS akan semakin kuat dan beranjak menjadi salah satu kekuatan politik utama di Indonesia, sebaliknya jika gagal, maka PKS mengikuti pendahulunya partai-partai Islam yang 'masuk kotak', justru karena demokrasi.
Di atas itu semua, patut diapresiasi pilihan politik PKS untuk 'berani bertarung' dalam Demokrasi. Ketika beberapa gerakan Islam lainnya justru tidak berani berpolemik dalam politik, PKS justru masuk dalam politik praktis. 'Percuma saja berlayar, kalau takut Gelombang' begitu mungkin gubahan yang tepat. Maknanya; 'Buat apa punya cita-cita perubahan, kalau takut menghadapi cobaan demokrasi?'
*) Khairurrizqo adalah mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia dan peneliti budaya politik di Hikaam Institute Jakarta.
http://www.detiknews.com/read/2011/04/15/145946/1618327/103/pks-dan-cobaan-demokrasi?nd991107103"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar