CHOOSE YOUR LANGUAGE:

CHOOSE YOUR LANGUAGE:

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 14 Januari 2011

KISAH TENTANG POHON APEL DAN SEORANG ANAK

Dahulu kala, ada sebuah pohon apel besar. Seorang anak kecil suka datang dan bermain-main setiap hari. Dia senang naik ke atas pohon, makan apel, tidur sejenak di bawah bayang-bayang pohon apel... Ia mencintai pohon apel itu dan pohon itu senang bermain dengan dia. Waktu berlalu.......

Anak kecil itu sudah dewasa dan dia berhari-hari tidak lagi bermain di sekitar pohon. Suatu hari anak itu datang kembali ke pohon dan ia tampak sedih. "Ayo bermain dengan saya," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan lagi seorang anak, saya tidak bermain di sekitar pohon lagi" Anak itu menjawab, "Aku ingin mainan. Aku butuh uang untuk membelinya".
"Maaf, tapi saya tidak punya uang..... tapi Anda bisa mengambil buah apel saya dan menjualnya. Maka Anda akan punya uang"

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua apel di pohon dan pergi dengan gembira. Anak itu tidak pernah kembali setelah ia mengambil buah apel. Pohon itu sedih.
Suatu hari anak itu kembali dan pohon itu sangat senang.
"Ayo bermain-main dengan saya" kata pohon apel.
"Saya tidak punya waktu untuk bermain. Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Dapatkah Anda membantu saya?"
"Maaf tapi aku tidak punya rumah. Tetapi Anda dapat memotong cabang-cabang saya untuk membangun rumahmu."

Lalu, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting dari pohon dan pergi
dengan gembira. Pohon itu senang melihatnya bahagia, tapi anak itu tidak pernah kembali sejak saat itu. Pohon itu kesepian dan sedih.

Suatu hari di musim panas, anak itu kembali dan pohon itu begitu gembira.
"Ayo bermain-main dengan saya!" kata pohon.
"Saya sangat sedih dan mulai tua. Saya ingin pergi berlayar untuk bersantai dengan diriku sendiri. Dapatkah kau memberiku perahu?"
"Gunakan batang pohonku untuk membangun perahu. Anda dapat berlayar jauh dan menjadi bahagia."
Lalu anak itu memotong batang pohon untuk membuat perahu. Dia pergi berlayar dan tak pernah muncul untuk waktu yang sangat panjang.

Akhirnya, anak itu kembali setelah ia pergi selama bertahun-tahun. "Maaf, anakku, tapi aku tidak punya apa-apa untuk Anda lagi. Tidak ada lagi apel untuk ananda...." kata pohon.
"Saya tidak punya gigi untuk menggigit" jawab anak itu.
"Tidak ada lagi batang bagi Anda untuk memanjat".
"Saya terlalu tua untuk itu sekarang" kata anak itu.
"Saya benar-benar tak bisa memberikan apa-apa..... satu-satunya yang tersisa adalah akar sekarat" kata pohon apel dengan air mata.
"Aku tidak membutuhkan banyak sekarang, hanya sebuah tempat untuk beristirahat. Saya lelah setelah sekian tahun." Anak itu menjawab.
"Bagus! Akar Pohon Tua adalah tempat terbaik untuk bersandar dan beristirahat di situ."
"Ayo, ayo duduk bersama saya dan istirahat"
Anak itu duduk dan pohon itu sangat gembira dan tersenyum dengan air mata..............

Ini adalah cerita untuk semua orang. Pohon adalah orang tua kita. Ketika kita masih muda, kita senang bermain dengan Ibu dan Ayah... Ketika kita tumbuh dewasa, kita meninggalkan mereka... hanya datang kepada mereka ketika kita memerlukan sesuatu atau ketika kita berada dalam kesulitan. Tidak peduli apa pun, orang tua akan selalu berada di sana dan memberikan segala sesuatu yang mereka bisa untuk membuat Anda bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak laki-laki itu kejam kepada pohon tapi itu adalah bagaimana kita semua memperlakukan orang tua kita.
=================================================

Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr. (2010).
Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi, Idea Press, Yogyakarta. Hal. 171-172. ISBN 978-6028-686-402.
…………………………………………………………………………………………….

Apabila Bpk/ Ibu/ Sdr berminat pesan dan dikirimi buku ”Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi” (MKSEP) tersebut, mohon ketik nama dan alamat pengiriman, sms ke 0813.9291.1111. (Harga buku Rp 40.000 + biaya pos/ kirim)

BACA JUGA YANG INI:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar